Artikel Populer


Selamat Datang di Blog Resmi RZIS UGM

Minggu, 07 Juli 2013

RENCANA-MU ADALAH YANG TERBAIK UNTUKKU by Ika Widyaningsih




Ika Widyaningsih, itulah nama saya. Saya adalah anak pertama dari pasangan (Alm) Pujiyono dan Tri Wahyuningsih. Saya dilahirkan di Bandung 21 tahun yang lalu. Karena orang tua saya asli Klaten, maka setelah saya lahir orang tua saya memilih kembali pulang ke Klaten dan meninggalkan pekerjaan beliau di Bandung yang sudah bisa dikatakan cukup mapan. Saya memiliki seorang adik laki-laki bernama Dian Widyana.

Setelah pulang kembali ke Klaten, ayah saya kemudian bekerja sebagai pegawai di suatu perusahaan kontraktor di Pekalongan. Sedari saya kecil, saya terbiasa hidup terpisah dengan ayah saya dikarenakan pekerjaan beliau yang tidak menetap di satu kota. Tetapi selalu berpindah-pindah sesuai dengan proyek yang diperoleh. Terkadang beliau sampai harus bekerja di luar jawa dan terpisah jauh dengan keluarga hanya demi menghidupi kami anak-anaknya. Sedangkan ibu saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang tinggal di rumah untuk mengurusi anak-anaknya.

Sebelum diterima di UGM, sebelumnya saya sudah diterima di salah satu Universitas swasta di Yogyakarta. Namun saya tidak mau membebani orang tua saya dengan biaya kuliah yang mahal. Karena ayah saya sangat menginginkan anak-anaknya bersekolah sampai perguruan tinggi dengan pengharapan anak-anaknya kelak dapat memiliki kehidupan yang lebih baik dibandingkan kehidupan orangtuanya maka beliau tetap menginginkan saya kuliah. Maka saya mencoba mengikuti test Ujian Masuk UGM. Beliau rela berkorban membanting tulang tanpa memperhatikan kondisi beliau sendiri untuk dapat membiayai kuliah saya dan biaya hidup untuk keluarga kami. Sampai suatu saat, Tuhan memanggil beliau untuk kembali pada-Nya saat beliau sedang bekerja di Juwana, Pati, padahal saat itu saya baru semester 2 di D3 Penginderaan Jauh dan SIG Sekolah Vokasi UGM. Sepeninggal beliau, kehidupan kami seolah goyah. Karena orang yang menjadi tumpuan kami telah dipanggil kembali oleh Tuhan. Kami harus berjuang demi melanjutkan kehidupan kami. Ibu saya berkerja serabutan dengan penghasilan yang tidak menentu. Terkadang saya merasa berat dalam menjalani kehidupan saya, tetapi saya berusaha untuk selalu mensyukuri apa yang terjadi dalam kehidupan saya. Karena saya percaya, Tuhan memiliki rencana yang jauh lebih indah untuk kami. Jalan kami masih panjang, dan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita beliau melihat anaknya kuliah adalah tanggung jawab saya sebagai anak sulung. Saya harus bisa melanjutkan pendidikan saya agar saya bisa membuat beliau bangga dan tidak mengecewakan beliau.

HIDUP PASTI BERPUTAR by Andri Setyawan – SV Kepariwisataan 2010




Assalamualaikum. wr. wb.

Perkenalkan, saya andri, Saya merupakan anak kedua dari 4 bersaudara, kakak saya adalah pns telah beristri dan memiliki satu anak,saya memiliki 2 orang adik, satu menempuh kuliah di UNY satu masih sebagai pelajar SMP. Dan saya merupakan salah satu mahasiswa sekolah vokasi UGM jurusan kepariwisataan, saya berlatar belakang dari keluarga yang bisa dibilang cukup, namun itu dulu sebelum ayah saya meninggal dan sebelum keadaan keuangan kelurga berantakan. Saat itu semester 2 ketika ujian akhir semester sedang berlangsung, ayah saya harus rawat inap di rumah sakit selama 5 hari dan akhirnya meninggal karena komplikasi jantung. Telah banyak biaya perawatan yang dikeluarkan saat itu untuk membiayai seluruh failitas biaya rawat inap, obat, peralatan, dan lain sebagainya. Setelah ayah saya meninggal seluruh pembiayan hidup saya dan adik saya yang sedang berkuliah di UNY menjadi tanggung jawab kakak saya, sedangkan untuk biaya adik saya yang terakhir masih diabiayai oleh ibu yang meneruskan usaha  ayah saya yang setelah ditinggal beliau semakin merugi. Tidak ingin memberatkan kehidupan kakak saya, mulai semester 3 bulan Februari kalau tidak salah, saya mulai mencari kerja part time di di salah satu agen penjualan tiket pesawat untuk biaya hidup sehari hari dijogja , menjadi kerja part time dalam satu pekerjaan tentu tidak cukup untuk seluruh kebutuhan biaya sehari hari dan biaya dalam perkuliahan, saya pun menyempatkan diri untuk menjadi sales promotion boy pada acara-acara EO ketika saya hari libur atau ketika sednag tidak bekerja part time .  Alhamdulillah, untuk biaya kuliah saya mendapatkan beasiswa bop mulai semester 2 hingga semester 5. Namun saya mulai berhenti berkerja pada semester 6 atau semester ini dikarenakan saya fokus untuk praktek kerja lapangan dan menyelesaikan tugas akhir. Untuk biaya hidup semester ini saya mengandalkan dari tabungan saya, namun itu tidak cukup untuk kebutuhan seorang mahasiswa yang sedang melakukan PKL di sebuah hotel Yogyakarta dan membuat tugas akhir.

Aku Mau Sekolah, Aku Mau KULIAH by THOLKHAH MANSHUR Diploma Teknik Mesin 2012




Assalamualaikum WR.  WB.
Nama saya Tholkhah Manshur, kebanyakan orang yang mengenalku memanggil tholkhah. Nama yang disepakati dari kedua orang tuaku yaitu Sholihin dan Siti Rosyidah saat aku lahir di rumahku Margoyoso 08/03 Kalinyamatan  Jepara pada tanggal 16 Januari 1994 atau sekitar 19 tahun silam . Aku berasal dari keluarga besar, maklum saja aku anak ke-empat dari delapan bersaudara.
Ayahku seorang yang tegas dalam mendidik anaknya, terutama dalam beribadah. Selain itu, beliau juga seorang yang bekerja keras. Pekerjaan sebagai buruh bangunan yang gajinya gak seberapa membuat beliau harus bekerja extra agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga kami. Sebenarnya saya tidak tega melihat itu, ingin rasanya segera mendapatkan pekerjaan untuk meringankan beban keluarga kami.
Bekerja tanpa keahlian khusus hanya akan memberatkan diri sendiri, itulah yang membuat saya berpikir untuk belajar setinggi mungkin. Tentuunya dengan kualitas pendidikan yang terbaik. Ya,  mungkin lulusan perguruan tinggi akan lebih menambah nilai jual saya. Meskipun dalam keadaan ekonomi yang pas-pas an aku tetap  mau KULIAH.
Dari kecil aku bisa dibilang sebagai anak yang pandai dan anak yang  berkeinginan kuat untuk bisa sekolah di tempat yang terbaik . Hal itu yang membuat aku keluar dari jalur sekolah yang pernah di tempati kakak-kakakku. Alhamdulillah orang tua mendukung semua keputusanku itu. Meskipun terkadang orang tua sulit memenuhi pembayaran sekolah yang harus dibayarkan.
MAN 2 KUDUS adalah tempat aku menutut ilmu di tingkat SMA. Aku masuk disana supaya gak hanya ilmu umum yang didapatkan tetapi ilmu agama juga, seperti keinginan orang tua. Dalam masa-masa kelulusan dan penerimaan untuk masuk kuliah waktu itu ada SNMPTN Undangan. Sistem yang tebaru SNMPTN Undangan saat itu yang harus selalu masuk rangking 50% atas di setiap jurusan di semester 3,4 dan 5 membuat aku tidak masuk kategori yang berhak ikut SNMPTN undangan. Karena di semester 3 aku tidak masuk 50% persen. Maklum, kuota SNMPTN di sekolah kami di penuhi anak-anak kelas unggulan karena KKM yang berbeda. Menyesalnya saya kenapa tidak sejak kelas satu aku masuk ke kelas unggulan saja dan baru masuk kelas unggulan dikelas 3. Jadi teman-temanku sekelas hampir semua ikut SNMPTN Undangan.

PERJUANGAN UNTUK MENCAPAI BANGKU KULIAH by Yesi Listyorini- SV12



   Assalamu’alaikum Wr.Wb
Nama saya Yesi Listyorini. Saya lahir 19 tahun yang lalu tepatnya 11 Maret 1994 di Bantul. Saya adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara. Sejak kecil saya ingin seperti kakak-kakak saya. Saat kakak saya yang pertama sudah memasuki jenjang perkuliahan, saat itu saya masih sekolah dasar, tapi saya ingin sekali segera seperti kakak bersekolah di perguruan tinggi. Keinginan untuk sekolah setinggi mungkin sudah tertanam dipikiran saya sejak kecil, apalagi setelah kakak saya yang kedua juga masuk jenjang perkuliahan. Kakak-kakak saya selalu mendukung saya bahwa kelak saya juga harus merasakan bangku perkuliahan. Karena kedua orangtua saya yang hanya lulusan SD, maka menurut kaka-kakak saya kami harus berpendidikan setinggi mungkin untuk merubah drajat keluarga. Tapi tentu saja mimpi saya ini tidak bejalan mudah seperti yang saya ingin-inginkan.
 Setelah lulus SMP, saya sudah berkeinginan untuk masuk SMA favorit di kota saya, disamping karena saya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, saya juga tidak terlalu cocok di kejuruan. Tetapi saat itu ibu saya paling menentang jika saya melanjutkan ke SMA, karena jika saya melanjtukan SMA saya harus melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan hanya akan membuang-buang biaya. Memang pekerjaan orang tua saya yang hanya seorang petani, tidak mudah untuk membiayai anak kuliah, apalagi jarak umur kakak saya yang kedua dengan saya yang tidak terlalu jauh, dan adik saya yang juga sudah masuk bangku SD. Hampir setiap hari pasti saya menangis karena beradu pendapat dengan ibu saya. Tapi saat itu masih ada bapak dan kakak saya yang masih mendukung saya melanjutkan ke-SMA. Memang sebagian besar biaya kuliah kakak saya adalah dari beasiswa, jadi tentu saja tidak mudah bagi ibu saya langsung mengijinkan saya kuliah.

 Jadi setelah akhirnya ibu saya merestui saya untuk masuk SMA, saya sudah bertekad bahwa saat kuliah ataupun SMA nanti saya harus menunjukkan prestasi yang baik, dan mendapatkan beasiswa. Alhamdulillah selama di SMA, saya tidak pernah keluar dari peringkat 5 beasr di kelas, dan 10 besar sekolah. Saya juga mendapatkan beasiswa yang saya gunakan untuk membayar uang sekolah saya. Walaupum selama SMA kakak-kakak saya menggunakan sepeda motor tapi  saya tidak pernah menuntut orang tua saya membelikan sepeda motor untuk pulang pergi sekolah, karena saya tidak ingin memberatkan orang tua saya. Walaupun setiap hari saya haru berangkat jam 05.30 karena menggunakan bus, tapi saya tetap bersyukur, karena itu adalah bagian dari perjuangna saya. Saat kelas 3 SMA saya bercita-cita melanjutkan ke fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Selain jalur SNMPTN saya juga mendaftar melalui jalur undangan. Dua-duanya lewat bidikmisi karena jika saya diterima, akan sangat meringankan beban orang tua, karena saya tidak perlu lagi membayar uang pendidikan dan saya juga mendapatkan uang saku.

Ini Cerita Jalan Hidup Saya by Dian Nurhayati



Sewaktu saya berumur 5 tahun, saya telah duduk di bangku SD kelas 1. Sebenarnya saya belum dibolehkan untuk masuk sekolah karena belum cukup umur. Namun karena saya sangat ingin segera sekolah akhirnya saya diijinkan untuk masuk ke kelas 1 SD dengan catatan harus mengulang di tahun berikutnya,.
Saya sekolah seperti teman yang lain, bedanya saya harus menempuh jarak 4 KM dengan berjalan kaki untuk menuju sekolah dari tempat tinggal saya. Cukup jauh memang, tapi itu sudah sekolah SD terdekat dari tempat saya tinggal.
Setahun berlalu ternyata saya dibolehkan umtuk lanjut ke kelas 2, katanya saya sudah bisa mengikuti pelajaran seperti teman yang lain. Hari demi hari berlalu dengan cepat secepat saya belajar di sekolah ini.
Ketika saya duduk di kelas 3, ada satu hal yang tak bisa saya pahami. Saya tak bisa melihat tulisan di papan tulis jika saya duduk di bangku barisan belakang. Saat itu saya hanya diam tanpa bilang ke siapa pun. Sejak saat itu saya berusaha selalu duduk di bangku barisan depan agar bisa belajar di kelas seperti teman yang lain.
Malangnya, semakin lama mata saya semakin tak bisa membantu saya belajar di kelas karena dalam jarak cukup dekat pun saya mengalami kesulitan untuk membaca tulisan di papan tulis. Dengan begitu saya harus mengejar ketinggalan materi di dalam kelas dengan membaca buku sendiri ketika di rumah. Sedangkan ketika di kelas saya hanya berusaha mendengarkan penjelasan dari guru meski tak bisa membaca apa yang guru tulis di papan tulis.
Suatu hari ketika saya kelas 5 SD, saya pernah diminta oleh seorang guru untuk membaca sebuah kalimat di papan tulis. Dan karena keterbatasan jarak pandang mata saya, akhirnya saya hanya diam dan tak tahu harus berbuat apa. Suasana kelas pada saat itu menjadi hening. Saya yakin banyak teman-teman yang memandang ke arah saya. Sedangkan saya hanya menunduk dan lagi-lagi diam. Mungkin setelah itu saya bisa berpura-pura baik-baik saja. Saya masih bisa bersikap biasa saja seakan tak ada masalah apapun. Saya tak bercerita apa-apa ke siapa pun. Dan saya hanya diam.
Di luar dari sikap diam saya, sejatinya kejadian itu bak tambaran keras bagi diri saya. Saya benar merasakan keterbatasan yang teramat vital dalam diri saya. Mata saya tak seperti mata kalian, mata saya berbeda. Menyadari keterbatasan ini membuat saya down. Namun karena kebodohan saya, tak ada yang saya lakukan selain tetap diam. Pernah terpikir untuk bilang kepada orang tua, namun apa daya, saya harus berpikir ulang karena keadaan finansial yang tidak mendukung.
Saya kembali membiarkan keterbatasan ini mewarnai hari demi hari. Walaupun tak jarang air mata ikut menghiasi. Sampai waktunya saya lulus SD, saya belum bilang ke siapa pun tentang mata saya. Saya hanya diam karena merasa tak pernah menemukan kesempatan yang pas untuk bilang ke orang tua.

Kamis, 04 Juli 2013

Ini kisahku ... by Tri Oktaviani



Okta, begitulah biasa aku dipanggil, anak kedua dari tiga bersaudara. Aku dibesarkan di tengah keluarga yang sederhana dan penuh kasih sayang. Ayahku seorang pedagang bakso dan ibuku seorang penjual jamu, mereka sangat menyayangi kami meskipun tidak dengan selalu memberikan banyak hadiah seperti yang diterima anak lain. Kasih sayang dan perhatian yang mereka berikan lebih dari cukup untuk kami. Aku sangat memahami kesulitan yang dihadapi kedua orang tuaku. Dengan penuh keikhlasan tanpa pernah sedikitpun mengeluh, mereka berjualan dari pagi hingga malam untuk memenuhi kebutuhan kami. Sejak kecil aku selalu berusaha untuk mandiri karena sudah memiliki adik ketika masih TK dan kakakku seorang laki-laki yang terpaut lima tahun dariku sehingga kami kurang dekat.
Alhamdulillah aku cukup berprestasi di sekolah, senang sekali rasanya dapat memberi sedikit kebahagiaan untuk orang tuaku. Tak banyak yang bisa kulakukan untuk membantu mereka, hanya berusaha untuk menjadi anak yang baik dan membantu pekerjaan mereka di rumah.
Sepuluh tahun yang lalu, ketika aku masih kelas lima SD, ibuku terserang kanker dan diketahui sudah stadium tiga. Sedih rasanya mengenang hari itu, aku masih kecil dan belum mengerti apa-apa. Yang aku tahu, ibuku tidak menyerah begitu saja, dengan segala keterbatasan biaya, ibu dan ayahku tetap berjuang untuk  kesembuhan ibu. Penyakitnya yang sudah terlanjur sangat parah mengharuskannya melakukan berbagai rangkaiaan pengobatan yang tidak sedikit dan tidak murah. Mulai dari kemoterapi, operasi hingga radiasi dan segala rasa lelah dan sakit yang tak terkira, sungguh ibuku tak pernah menyerah. Setiap minggu juga ayahku harus mengurus kartu jamkesmas karena jika tanpa itu sudah tak mampu lagi ayah membayar semua pengobatan ibu. Dengan keikhlasan dan perjuangan yang tak pernah lelah selama kurang lebih dua tahun akhirnya Allah memberi ibu kesembuhan, senang sekali rasanya waktu itu, ku ingat ketika itu ibu bisa mengantarku di hari pertamaku masuk SMP.
Namun ternyata takdir berkata lain, belum genap dua tahun kesembuhan ibuku, ternyata penyakitnya kambuh kembali dan menyerang paru-paru. Dokter sudah menyerah dan memasrahkannya pada keluarga. Akhirnya ibu menghembuskan nafas terakhirnya dan menghadap Allah. Ketika itu aku masih kelas dua SMP dan adikku baru kelas empat SD. Ayahku yang kemudian menggantikan seluruh peran ibu. Memang berbeda rasanya tapi aku tahu bahwa ayah menyayangi dan mencintai kami dengan penuh ketulusan. Kemudian Ayah merantau ke Lampung dan kami akhirnya dititipkan pada nenek di desa.

Rabu, 03 Juli 2013

Saya berjuang untuk bisa belajar di Universitas Gadjah Mada by Uphas Gia Salis Budidaya Hutan


Saya adalah salah satu mahasiswa UGM yang sedang berjuang untuk bisa terus belajar dan mengapai cita-cita menjadi sarjana lulusan UGM. Latar belakang saya berasal dari keluarga sederhana. Ayah saya bernama Sugiyanto dan Ibu saya bernama Sugiyati. Nama lengkap saya adalah Uphas Gia Salis. Saya merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Adik saya bernama Firdaus Gia Amahikar yang usianya beda satu tahun dengan saya. Kami tinggal di Dukuh Penggung, Desa Ngagel, Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati. Kami tinggal serumah bersama kakek dan nenek dari ibu. Ayah saya bekerja sebagai reparasi barang elektronik. Ketika saya berusia 5 tahun ayah meniggal dunia karena sakit yang kronis. Setelah ayah meninggal, ibu membuka warung untuk menghidupi keluarga kami. Umur 7 tahun saya masuk SD N 02 Penggung dan lulus pada tahun 2003. Setelah lulus dari saya melanhutkan ke SMP N 01 Tayu. Sejak masuk SMP saya tinggal bersama nenek dari ayah saya selama 1 tahun. Karena nenek saya meninggal saya tinggal bersama budhe saya yang bermna Supriati sampai lulus SMA. Saya lulus SMP N 01 Tayu pada tahun 2006 dan melanjutkan ke SMA N 01 Tayu. Biaya sekolah ketika di SMP dan SMA berasal dari sanak saudara almarhum ayah saya dan beasiswa yang ada di sekolah. Ketika tinggal bersama budhe, saya sering membantunya dalam semua pekerjaannya yaitu berjualan di warung. Selama di SMA N 01 Tayu saya aktif sebagai pengurus OSIS periode 2007/2008 sebagai ketua seksi V dan aktif sebagai senior pramuka. Saya lulus SMA N 01 Tayu tahun 2009 dan melanjutkan di UGM. Saya masuk UGM lewat jalur PBUTM yang merupakan beasiswa yang diberikan UGM kepada siswa yang punya kemampuan akademik tapi dari keluaga tidak mampu melalui penelusuran bibit unggul.
Selama kuliah di UGM saya tinggal bersama budhe saya yang ada di Jogja. Kami tinggal di Bumijo Kulon JT I/1120 RT/RW. 037/008 kelurahan Bumijo Kecamatan Jetis Kota Yogyakarta. Biaya hidup selama di Jogja berasal dari sepupu saya yang ada di Surabaya dan Paman saya.
Motivasi saya untuk belajar di UGM adalah: untuk melanjutkan study ke jenjang sarjana yang nantinya bermanfaat di masa depan. Pada awalnya saya ingin masuk UGM pada jurusan matematika, karena nila saya dianggap tidak mungkin masuk matematika, saya dianjurkan guru bimbingan konseling di SMA saya untuk ambil jurusan Budidaya Hutan. Saya berharap setelah lulus UGM nanti akan bermanfaat bagi orang banyak.

Selasa, 02 Juli 2013

Si Kepala Batu by Siti Yuliana D3 Bahasa Perancis




Nama saya Siti Yuliana, salah seorang mahasiswi D3 Bahasa Perancis SV UGM angkatan 2012. Saya lahir di Seumira Teunom, tetapi di akta kelahiran ditulis Klaten karena ayah dan ibu asli Klaten. Ayah berumur sekitar 70 tahun sedangkan ibu 63 tahun. Ayah tidak bekeja, hanya memelihara seekor sapi miik tetangga, tetapi sekarang sudah bisa mendapat satu bagian sendiri dari hasil memelihara itu. Ibu bekerja sebagai seorang buruh tani terutama di musim tanam padi. Ibu juga membiayai hidup kami dengan menggarap sawah warisan kakek seluas sekitar 1.700 meter persegi. Saya anak bungsu dari tiga bersaudara. Pada ahn 2000 saya diajak ibu pulang ke Klaten karena di Seumira diteror oleh tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tidak suka akan keberadaan para transmigran seperti keluargaku.
Sejak SD saya bermimpi untuk kuliah di UGM. Saya ingin penddikan saya bisa lebih tinggi dari kakak-kakak saya. Untuk dapat mewujudkan hal itu maka saya harus benar-benar belajar dengan giat. Sejak SD itu pula saya sudah belajar mencari uang sendiri dengan menjual chiki sepulang dari sekolah. Saya berjualan chiki hingga lulus SMP.
Setelah lulus SD saya ingin melanjudkan sekolah ke SMP N 1 Prambanan Klaten. SMP ini merupakan salah Satu sekolah terfavorit di daerahku yang berstandar Nasonal. Kondisi orang ekonomi orang tua yang pas-pasan, tentu menjadi salah satu alasan yang mendasar untuk melarang saya sekolah di SMP N 1 Prambanan Klaten. Tetapi saya nekat mendaftar di sekolah favorit itu dan akhirnya diterima melalui jalur tes. Beruntung selama sekolah di SMP N 1 Prambanan itu saya mendapat keringanan biaya sekolah.
Selulusnya dari SMP saya dilarang untuk melanjudkan sekolah terlebih sekolah yang saya inginkan lagi-lagi adalah sekolah erfavorit yaitu di SMA N 1 Klaten yang ada kelas akselerasinya. Tentu saja orang tua melarang keras. Ketika saya memohon-mohon pada ibu, ia menyarankan agar saya mohon saran pada kakak pertama. Seandainya kakak mengizinkan maka ibu pun akan merestui. Beruntung saya berhasil membujuk kakak untuk mengizinkan saya melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi tidak boleh di SMA N 1 Klaten. Dia member pilihan pada saya yaitu, SMA N  Prambanan Klaten atau SMK N 1 Jogonalan Klaten. Saya memilih SMA N 1 Prambanan karena saya tidak mau di SMK.

BERMODAL UANG GADAI SEPEDA MOTOR by Wulan Fatimah Rohman Biologi



Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Wulan Fatimah Rohman, itulah nama yang umi dan aba berikan padaku. Berharap anak perempuannya ini bisa mengikuti jejak-jejak perjuangan hidup Fatimah, putri yang sangat disayangi Rosulullah. Aku lahir di tengah masyarakat yang bisa dikatakan jauh tertinggal dari kepedulian akan pendidikan, maka tidak heran bila teman-teman sebayaku saat itu memilih putus kuliah untuk bekerja serawutan, menikah sangat dini, atau malas dan akhirnya menjadi momok masyarakat. Lebih dari itu, dusun tempat saya tinggal tidak jauh dari salah satu tempat lokalisasi terbesar di  Kabupaten Banyuwangi, membuat lingkungan tempat tinggalku stategis untuk sarang tindak asusila.

Alhamdulillah, beruntungnya aku ditakdirkan lahir di keluarga yang mengerti tentang agama dan pendidikan. Aba adalah wiraswasta lulusan S1 sedangkan umi lulusan Tsanawiyah yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Umi dan aba sangat memperhatikan perkembanganku tiap detiknya, beliau sangat awas menilik setiap gerak-gerikku. Aba adalah tipe orang yang keras dalam mendidik anak. Jika sedikit saja aku salah, aba akan marah besar. Tapi akhirnya aku bersyukur telah didik keras mulai kecil, karena dunia luar jauh lebih keras dari itu.

Sama halnya dengan aba, umi sangat peduli dengan pendidikanku, “Umi dan aba rela tidak makan asalkan Wulan tetap lanjut sekolah.” Itu adalah kalimat yang senantiasa di ucapkan umi dan aba.

Waktu sangat cepat membawaku menyelesaikan jenjang SMA. Telah ku tanggalkan seragam abu-abu dan bermimpi menjadi seorang mahasiswa. Tanpa ku utarakan keinginanku untuk kuliah, umi dan aba pasti menyuruhku menjemput impian itu, walau aku tahu saat itu perekonomian keluarga kami sedang sulit. Sembari menunggu pengumuman SNMPTN tulis, aku kembali membuat bros dari kain flanel, usaha yang pernah aku geluti semasa SMA bersama teman-teman. Keuntungannya aku simpan untuk tambahan biaya kuliah, yang akhirnya dipakai untuk membeli bubur dan susu adek, ya adekku masih berumur 2 tahunan saat itu.