Dataran ini merupakan bagian dari
Cincin Api. Selama jutaan tahun, genesa fluvial[1] dan endapan material gunung api telah
membentuknya menjadi sebarisan dataran tinggi yang memanjang dari barat laut
hingga tenggara Pulau Sumatera. Bukit Barisan, itulah namanya. Diantara bukit
barisan yang memanjang itu ada sebuah wilayah unik yang dikelilingi perbukitan
sehingga benar-benar tampak seperti kuali alam. Perbukitan itu bolehlah
diibaratkan sebagai dindingnya kuali dan dataran rendah yang dihuni manusia
diibaratkan sebagai pantatnya kuali. Wilayah itu dulunya terkenal dengan
istilah Padang Na Dimpu[2]. Kemana pun mata memandang
maka perbukitan selalu menjadi pemandangan. Dan di salah satu sudut bentang
alam yang membentuk kuali itulah bermula sebuah cerita seorang insan yang lahir
pada 29 Desember 1992 bernama Muhammad Afif.
Lima Belas Tahun yang Lalu
“Namamu ini berarti terpuji dan suci.
Semoga nama ini kelak menjadi cerminan dirimu.” Begitu kata nenek ketika
kutanyakan apa arti namaku padanya yang telah menyematkan nama ini
padaku.
Aku masih berusia lima tahun ketika aku
menanyakan arti nama itu. Usia itu adalah usia dimana aku selalu bermain dan
ketika ditanya apakah aku ingin sekolah, aku selalu menolak.
Sebab,
aku melihat sekolah hanya akan mengurangi waktuku untuk bermain kotor-kotoran
dengan alam dan teman-teman. Begitupun dengan teman-teman memiliki alasan yang
serupa. Suasana kota kecil Padangsidimpuan yang sangat sejuk nan elok membuat
kami hanya ingin selalu bermain. Bermain di sawah menangkap capung, belalang
dan belut. Tercebur di sungai kecil hingga kami tenggelam dan pulang dimarahi
ibu. Mencuri ketimun dan singkong di kebun orang dan bermain sepak bola di
tanah lapang. Kemudian kami bertengkar, bermain lagi, bertengkar lagi, begitu
seterusnya. Menyenangkan bukan? Dan setiap hari minggu setelah melaksanakan
sholat subuh kami selalu lari pagi lebih satu kilometer dan mendaki bukit-bukit
kecil untuk melihat keindahan panorama kota kecil kami. Bukit itu kami namakan
Bukit Teletubbies karena gundukannya mirip dengan bukit yang ada di film
Teletubbies. Akan sangat menyenangkan jika sampai di puncak bukit mentari belum
bangun dari tidurnya. Bukit ini memiliki mata air yang sangat jernih.
Masyarakat memperolehnya dengan cara membuat pancoran. Airnya tetap menyehatkan
diminum dari pancoran tanpa perlu memasak terlebih dahulu. Apabila di pagi hari
kita memandang dari puncak bukit kecil itu, seluruh bentang lahan
Padangsidimpuan terpampang pada pandangan mata. Sawah yang menghijau diantara
perumahan penduduk tampak bagaikan lapangan sepak bola. Perbukitan yang
mengelilingi kota dan ditumbuhi belantara semakin menambah keindahan panorama.
Nyanyian burung beterbangan dan suara-suara hewan lainnya didampingi sejuk
lembut angin cukup menyegarkan suasana. Sekilas gambaran masa kecilku di tengah
nyanyian alam.
Setahun kemudian akupun tak bisa lagi
menolak untuk tidak sekolah. Ibu dan ayah memaksaku dengan keras. “kalau kamu
nggak mau sekolah, kamu nggak mungkin bisa baca, menulis dan berhitung! Kalau
kamu nggak bisa ketiganya, kamu dianggap bodoh! Kamu mau jadi orang bodoh? Kamu
tetap bisa bermain-main bersama teman-temanmu meskipun kamu sudah sekolah!”
skakmat dari ibu untukku.
Sepuluh Tahun yang lalu
Hari ini aku melaju kencang di atas
roda dua kusam tanpa mesin dari rumah menuju sekolah berjarak satu setengah
kilometer. Roda dua kusam itu kubeli setelah menabung selama 360 hari lamanya.
Hey! bayangkan lamanya setahun untuk anak berumur tidak lebih dari satu dekade!
Awalnya aku ingin beli roda dua tanpa mesin yang bening. Tapi, apalah daya.
Seperti pribahasa, maksud hati ingin memeluk gunung apa daya gunung meletus.
Maksud hati ingin membeli sepeda, apa daya uang masih kurang namun luapan emosi
untuk memilikinya tidak terbendung lagi. Dan akhirnya, sepeda bekas itulah yang
menjadi milikku. Asal kamu tahu sobat, asal pembuatannya tidak asing lagi di
telinga. MADE IN CHINA! Dalam waktu 3 bulan sudah ada tanda-tanda kiamat
sepeda. Hingga dua tahun kemudian benda itu pun sudah reyot di gudang belakang
rumah. Hari itu hari yang naas namun penuh hikmah. Hikmahnya adalah berpikirlah
terlebih dahulu sebelum membeli barang yang murah! Sebab harga tidak pernah
berkata bohong. Begitu kata guru terbaik.
Ada kebanggaan ketika memakai sepeda
itu di hadapan teman-teman sebaya. Sepeda yang mereka dapatkan hanyalah
pemberian cuma-cuma dari orangtuanya sedangkan aku harus bekerja keras
mengumpulkan uang demi sebuah sepeda. Aihh! rasanya menjadi pahlawan untuk
diriku sendiri. Tidak gampang mengumpulkan uang itu sobat. Sebab ada tangan
jahil dibalik prosesnya. Begini ceritanya! Biang kerok dari kejadian ini adalah
abangku. Waktu itu aku barulah membeli celengan dari bahan plastik berbentuk
silinder berwarna kuning keemasan yang kugunakan untuk menabung. Lalu makhluk
itu datang mengajakku kompromi. “pip, boleh nggak aku numpang nabung di
celenganmu? Jadi kita punya satu celengan untuk berdua. Harmonis sekali bukan?”
aku pun terkesima dengan kata-kata harmonis itu. Lalu dia melanjutkannya “Nanti
setiap duit yang ingin kutabung di celenganmu harus selalu kamu lihat dengan
mata kepalamu sendiri kemudian aku catat berapa banyak yang kutabung setiap
hari. Tapi kamu gak usah nyatat duitmu. Ini kan celenganmu?! Deal??”
“baiklah!” jawabku dengan polos.
“baiklah!” jawabku dengan polos.
Setahun kemudian hari perhitungan itu
terjadi. Ketika membongkar celengan, saya heran kok duit yang saya tabung lebih
sedikit dibanding duit abang? Ada yang aneh disini. Saya tidak heran dengan
jumlah uangnya yang dua kali lipat lebih banyak. Karena jumlah itu memang
sesuai dengan catatannya. Tapi saya heran ketika jumlah tabunganku lebih
sedikit.
“senang berbisnis dengan anda!” Begitu katanya ketika penghitungan uang tabungan selesai. Aku baru sadar dua tahun kemudian tepat ketika sepeda itu sudah reyot di gudang belakang rumah. Sepupuku yang memberitahunya. “asal kamu tahu, abangmu itu udah nipu kamu! sambil terbahak-bahak dia ceritain kejadian itu dan aku pun hampir mati ketawa mendengarnya. Uang yang dia tabung di celenganmu sebagian besar adalah uangmu! Dia selalu mencungkil celengan itu pake gagang sendok sewaktu kamu sedang tidak ada di rumah. Huahahahaha.” Sialan!
“senang berbisnis dengan anda!” Begitu katanya ketika penghitungan uang tabungan selesai. Aku baru sadar dua tahun kemudian tepat ketika sepeda itu sudah reyot di gudang belakang rumah. Sepupuku yang memberitahunya. “asal kamu tahu, abangmu itu udah nipu kamu! sambil terbahak-bahak dia ceritain kejadian itu dan aku pun hampir mati ketawa mendengarnya. Uang yang dia tabung di celenganmu sebagian besar adalah uangmu! Dia selalu mencungkil celengan itu pake gagang sendok sewaktu kamu sedang tidak ada di rumah. Huahahahaha.” Sialan!
Aku membeli sepeda bukan karena
orangtua tidak mampu membelinya. Jangankan sepeda, sebuah apel pun tidak akan
dibelikan jika tidak ada persyaratan. Begitulah pendidikan di rumah kami.
“setiap kucuran keringat itu berharga. Bahkan setiap rupiah pun sangat berharga.
Maka dari itu, jangan coba-coba menjadi anak yang malas apalagi manja!” itulah
jawaban yang diberikan ibu setiap kali anak-anaknya merengek meminta sesuatu
yang bukan kebutuhan utama baginya. Bukan berarti orangtuaku kejam, bukan
berarti mereka sadis. Orangtuaku hanya ingin anak-anaknya bukan bagian dari
generasi LEMAH.
Empat Tahun yang Lalu
“bel sudah berbunyi. Ayo lari ke
kantin. Habiskan uangmu, jangan sampai rentenir itu menagih hutang hari ini.
Aku masih ingin makan sepuasnya.” Bisik seorang teman dari kelas lain kepada
teman sebangkunya yang sama-sama punya hutang pulsa kepadaku. Sejak menjual
pulsa, aku punya nama baru di sekolah. Rentenir, lintah darat dan depkolektor.
Itulah tiga nama baruku. Sebenarnya aku tidak suka mendengar nama rentenir dan
lintah darat. Diantara ketiga nama itu, aku lebih suka dipanggil depkolektor.
Rentenir dan lintah darat selalu menagih hutang dan bunga hutang sedangkan
depkolektor hanya menagih hutang. Dan aku tidak pernah menagih bunga hutang.
Tapi sayang sekali rentenir lebih melekat padaku dibanding depkolektor.
Begitulah kerjaan teman-teman yang kurang kerjaan membuat nama baruku.
Saat itu aku masih kelas XI tingkat
Aliyah. Sejak kecil, aku selalu ditempa untuk berupaya memenuhi kebutuhan
tersierku. Sedangkan seluruh kebutuhan primer dan sebagian besar kebutuhan
sekunder sudah menjadi kewajiban orangtua untuk memenuhinya. Karena itulah,
jika aku tidak punya uang namun menginginkan sesuatu yang bukan kebutuhanku
maka aku akan mencari duit sendiri. Jangan harap meminta pada orangtua.
Menangis darahpun tidak akan dikabulkan. Seringkali aku harus mengubah sampah
menjadi berkah seperti pengepul barang yang mencari barang rongsokan di tempat
sampah. Bedanya dengan pengepul barang, mereka membawa karung goni sebagai
wadah barang-barangnya sedangkan aku membawa plastik yang kudapatkan di tempat
sampah. Yang melakukan hal demikian bukan hanya aku tetapi juga sebagian besar
teman-temanku. Seolah menjadi kebiasaan kami dan tak pernah malu melakukannya
karena kami mata duitan. Saat ada pertandingan sepakbola maka saat itu juga aku
menontonnya ditemani es daganganku. Saat bulan puasa, aku menjual kurma dan pakkat[3].
Begitu pula saat di tingkat Aliyah, aku pun berjualan pulsa dengan modal nol
rupiah. Wilayah pemasaranku adalah sekolahku. Penghasilan dari menjual pulsa
cukup untukku membeli buku, jalan-jalan, makan enak bersama teman dan terkadang
aku yang membayar uang sekolahku.
Sejak aku menjual pulsa, kutukan dengan
panggilan “rentenir” pun melekat. Kenapa? Begini ceritanya. Teman-teman biasa
meminta pulsa padaku pada malam hari. Saat itu juga aku mengisinya dan selalu
kucatat nama orang beserta jumlah hutangnya pada bukuku yang kuberi judul “BUKU
HUTANG PULSA.” Esoknya, ketika jam menunjukkan istirahat aku pun akan
menghampiri makhluk-makhluk itu di kelasnya masing-masing kemudian memanggilnya
dengan keras “ALDI, ZURAIDAH, RYAN, HUSNUL hutangmu bayar sekarang!!”.
“iya! Nggak usah keras-keras juga
bakalan kubayar! Dasar rentenir bersuara Gorilla!” pungkas salah seorang teman.
Beberapa dari mereka akan membayar
tepat waktu. Tapi tak jarang yang harus menunggu tiga hari barulah dilunasi.
Mereka yang baru melunasi hutangnya tiga hari kemudian biasanya memiliki sifat
yang sama. Mereka akan pergi ke kantin dan ketika kusergap, begini alibinya
“aduh kawan. Kamu sih telat datangnya. Seharusnya kamu datang lima menit yang
lalu. Sekarang duitku tinggal ongkos pulang ke rumah.” Itulah jawaban hari
pertama yang kudengar. Bagaimana menurutmu? Mereka yang berhutang, aku yang
salah! Esoknya aku percepat lima menit.
“kamu datang telat lagi! Beberapa detik yang lalu aku sudah membayar makananku di kantin ini. Tapi tenang, aku masih punya sedikit uang tapi tetap tidak bisa kubayar full. Hanya setengahnya. Bolehkan? Hehe.” Jawaban hari kedua. Karena aku depkolektor yang berprikemanusiaan dan ingin menerapkan sila kedua Pancasila, maka akupun hanya mengelus dada mendengar alibinya.
“akhirnya kamu datang tepat waktu. Seharusnya beginilah seorang wirausahawan. Kerja keras itu masih kurang. Harus dibarengi dengan kerja cerdas, kerja ikhlas dan disiplin tinggi. Hari ini aku memberi nilai 10 untukmu pada mata pelajaran kerja keras dan disiplin tinggi tapi masih nilai lima untuk kerja cerdas dan kerja ikhlas. Karena itu kamu kuhadiahi sisa hutangku. Hehehehehe.” Beginilah jawaban hari ketiga. Beginilah pelangganku yang paling merepotkan. Ingin kulemparkan ponsel jadulku berlayar kuning ini ke wajahnya. Tapi aku mengurungkan niatku karena ponsel itu satu-satunya ujung tombak penghasilanku sekaligus satu-satunya barang elektronik milikku pribadi. Dan yang penting, ponsel itu kudapatkan secara gratis dari seorang pria muda yang juga menjual pulsa di Kota Medan sana. Pria itu adalah suami kakakku.
“kamu datang telat lagi! Beberapa detik yang lalu aku sudah membayar makananku di kantin ini. Tapi tenang, aku masih punya sedikit uang tapi tetap tidak bisa kubayar full. Hanya setengahnya. Bolehkan? Hehe.” Jawaban hari kedua. Karena aku depkolektor yang berprikemanusiaan dan ingin menerapkan sila kedua Pancasila, maka akupun hanya mengelus dada mendengar alibinya.
“akhirnya kamu datang tepat waktu. Seharusnya beginilah seorang wirausahawan. Kerja keras itu masih kurang. Harus dibarengi dengan kerja cerdas, kerja ikhlas dan disiplin tinggi. Hari ini aku memberi nilai 10 untukmu pada mata pelajaran kerja keras dan disiplin tinggi tapi masih nilai lima untuk kerja cerdas dan kerja ikhlas. Karena itu kamu kuhadiahi sisa hutangku. Hehehehehe.” Beginilah jawaban hari ketiga. Beginilah pelangganku yang paling merepotkan. Ingin kulemparkan ponsel jadulku berlayar kuning ini ke wajahnya. Tapi aku mengurungkan niatku karena ponsel itu satu-satunya ujung tombak penghasilanku sekaligus satu-satunya barang elektronik milikku pribadi. Dan yang penting, ponsel itu kudapatkan secara gratis dari seorang pria muda yang juga menjual pulsa di Kota Medan sana. Pria itu adalah suami kakakku.
Selamat Datang Wahai Para Petualang
Sekonyong-konyong aku sudah berada di Universitas Gadjah Mada. Aku diterima di
pilihan pertamaku yang bukan pilihan kebanyakan orang. Jurusan Arkeologi
angkatan 2011. Masih terngiang dalam ingatan bagaimana aku harus berjibaku
dengan pilihanku. Mulai dari perbedaan pendapat dengan orangtua, kakak, abang
dan keluarga lainnya hingga keseriusanku dalam belajar. Demi mengejar nama
universitas itu, di semester terakhir aku berhenti menjual pulsa, bermain-main
dan plesiran. Pikiran dan tenaga terfokus untuk sebuah target.
Aku menggoreskan
tiga huruf yang menjadi singkatan kampus itu di meja sekolahku. Ketika aku
lelah, aku terpacu untuk belajar saat memandang tiga huruf itu. Ketika
teman-teman sedang asyik dengan kegaduhannya di kelas saat guru tidak ada, maka
aku sibuk melatih dan mengerjakan soal-soal SNMPTN demi menuju tiga huruf itu.
Ketika kebanyakan teman galau dengan masa depan studinya, aku tetap optimis
pada ketiga huruf itu.
“kamu mau kuliah di Jogja? Mau tinggal
dimana?! Biaya hidup mahal! Kamu mau makan apa?!” ayah sedikit emosi menanggapi
pilihanku.
“aku tinggal di masjid pak. Biar murah. Lingkungannya juga terjamin bagus.”
“apa? Tinggal di masjid? Di rumah aja kamu ngerepotin apalagi di masjid! Di rantau orang lagi!”
“kenapa sih ribut ngebahas ini? Aku aja belum ujian semester terakhir di sekolah! Belum UN, belum SNMPTN dan belum jelas apa aku nanti lulus UN di sekolah dan belum tentu tes SNMPTN diterima di UGM!” emosiku terpancing.
“kalau kau ngotot pada pilihanmu, silahkan! Tapi jangan pulang sebelum bawa ijazah sarjana. Kalau mau pulang tapi belum bawa ijazah, ongkos tanggung sendiri!” simpul ibu menutup pembicaraan.
“aku tinggal di masjid pak. Biar murah. Lingkungannya juga terjamin bagus.”
“apa? Tinggal di masjid? Di rumah aja kamu ngerepotin apalagi di masjid! Di rantau orang lagi!”
“kenapa sih ribut ngebahas ini? Aku aja belum ujian semester terakhir di sekolah! Belum UN, belum SNMPTN dan belum jelas apa aku nanti lulus UN di sekolah dan belum tentu tes SNMPTN diterima di UGM!” emosiku terpancing.
“kalau kau ngotot pada pilihanmu, silahkan! Tapi jangan pulang sebelum bawa ijazah sarjana. Kalau mau pulang tapi belum bawa ijazah, ongkos tanggung sendiri!” simpul ibu menutup pembicaraan.
Aku tetap bersikeras pada pilihanku
hingga hari itu tiba. Hari ketika aku dinyatakan lolos dan diterima di UGM. Dua
hari setelah pengumuman itu aku pun berangkat menuju Yogyakarta dengan
perjanjian yang sudah kami sepakati. Tinggal di masjid dan jangan pulang
sebelum ijasah kuperoleh. Jika ingin pulang tanpa ijazah, harus dengan uang
pribadi.
Hari-hariku benar-benar ditempa dan
melelahkan. Selama dua tahun ini aku menyibukkan diri dalam kuliah, mengurus
masjid, organisasi, ngajar TPA, ngajar privat, penelitian, berbagi waktu dengan
alam dan mulai berwirausaha. Dalam lelah, aku menikmati setiap proses yang
kulalui. Memang, terkadang aku mengeluh. Tapi keluhanku kuadukan pada Tuhanku.
Meskipun terkadang aku juga futur, namun sebisa mungkin kukembalikan pada
keadaan yang normal. Hingga detik ini, ketika aku menulis biografi singkat ini,
tak sekalipun aku pulang. Karena memang didompetku tidak ada uang untuk pulang.
Kalaupun aku punya uang, aku memilih bertualang. Sesuai dengan jurusanku,
jurusan para petualang. Selamat datang wahai para petualang!
[1] Sederhanya,
genesa fluvial merupakan proses pembentukan bentanglahan di permukaan bumi yang
disebabkan aliran air.
[2] Merupakan
asal-usul kota kecil Padangsidimpuan. Berawal dari istilah Padang Na Dimpu
(Padang= hamparan, Na= yang, Dimpu= tinggi) yang berarti hamparan tanah yang
luas dan tinggi. Istilah itu pun disematkan pada kampung halaman saya yang
berdiri tanggal 21 Juni 2001.
[3] Rotan muda. Di
tanah Batak Pakkat ini selalu dikonsumsi ketika sahur ataupun berbuka pada saat
bulan puasa. Bagian yang dikonsumsi adalah bagian dalam yang berwarna putih dan
rasanya cukup pahit. Orang-orang batak mengkonsumsi pakkat ini dengan cara
digoreng, dipanggang maupun dimakan mentah dan biasanya selalu dicampur sambal
khas Tapanuli Selatan bernama Sambal Taruma. Menurut orang-orang yang
mengkonsumsinya, pakkat ini berkhasiat mengurangi dahaga kehausan ketika puasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar