Artikel Populer


Selamat Datang di Blog Resmi RZIS UGM

Minggu, 07 Juli 2013

Ini Cerita Jalan Hidup Saya by Dian Nurhayati



Sewaktu saya berumur 5 tahun, saya telah duduk di bangku SD kelas 1. Sebenarnya saya belum dibolehkan untuk masuk sekolah karena belum cukup umur. Namun karena saya sangat ingin segera sekolah akhirnya saya diijinkan untuk masuk ke kelas 1 SD dengan catatan harus mengulang di tahun berikutnya,.
Saya sekolah seperti teman yang lain, bedanya saya harus menempuh jarak 4 KM dengan berjalan kaki untuk menuju sekolah dari tempat tinggal saya. Cukup jauh memang, tapi itu sudah sekolah SD terdekat dari tempat saya tinggal.
Setahun berlalu ternyata saya dibolehkan umtuk lanjut ke kelas 2, katanya saya sudah bisa mengikuti pelajaran seperti teman yang lain. Hari demi hari berlalu dengan cepat secepat saya belajar di sekolah ini.
Ketika saya duduk di kelas 3, ada satu hal yang tak bisa saya pahami. Saya tak bisa melihat tulisan di papan tulis jika saya duduk di bangku barisan belakang. Saat itu saya hanya diam tanpa bilang ke siapa pun. Sejak saat itu saya berusaha selalu duduk di bangku barisan depan agar bisa belajar di kelas seperti teman yang lain.
Malangnya, semakin lama mata saya semakin tak bisa membantu saya belajar di kelas karena dalam jarak cukup dekat pun saya mengalami kesulitan untuk membaca tulisan di papan tulis. Dengan begitu saya harus mengejar ketinggalan materi di dalam kelas dengan membaca buku sendiri ketika di rumah. Sedangkan ketika di kelas saya hanya berusaha mendengarkan penjelasan dari guru meski tak bisa membaca apa yang guru tulis di papan tulis.
Suatu hari ketika saya kelas 5 SD, saya pernah diminta oleh seorang guru untuk membaca sebuah kalimat di papan tulis. Dan karena keterbatasan jarak pandang mata saya, akhirnya saya hanya diam dan tak tahu harus berbuat apa. Suasana kelas pada saat itu menjadi hening. Saya yakin banyak teman-teman yang memandang ke arah saya. Sedangkan saya hanya menunduk dan lagi-lagi diam. Mungkin setelah itu saya bisa berpura-pura baik-baik saja. Saya masih bisa bersikap biasa saja seakan tak ada masalah apapun. Saya tak bercerita apa-apa ke siapa pun. Dan saya hanya diam.
Di luar dari sikap diam saya, sejatinya kejadian itu bak tambaran keras bagi diri saya. Saya benar merasakan keterbatasan yang teramat vital dalam diri saya. Mata saya tak seperti mata kalian, mata saya berbeda. Menyadari keterbatasan ini membuat saya down. Namun karena kebodohan saya, tak ada yang saya lakukan selain tetap diam. Pernah terpikir untuk bilang kepada orang tua, namun apa daya, saya harus berpikir ulang karena keadaan finansial yang tidak mendukung.
Saya kembali membiarkan keterbatasan ini mewarnai hari demi hari. Walaupun tak jarang air mata ikut menghiasi. Sampai waktunya saya lulus SD, saya belum bilang ke siapa pun tentang mata saya. Saya hanya diam karena merasa tak pernah menemukan kesempatan yang pas untuk bilang ke orang tua.

Saya lulus SD dengan nilai ujian tertinggi di kelas. Ada rasa bangga dengan pencapaian itu. Meskipun sebenarnya bukan apa-apa, tapi dengan keterbatasan mata saya ini, saya bangga masih bisa menunjukkan prestasi. Lulus dengan nilai yang cukup baik membuat saya ingin melanjutkan sekolah di SMP favorit. Namun niat itu segera saya urungkan karena kendala finansial.
Akhirnya saya putuskan untuk sekolah di sebuah Mts yang berjarak 4-5 KM dari tempat tinggal saya. Beruntung saya sekolah dengan beasiswa, sehingga tidak membebankan orang tua. Selain itu saya juga tidak pernah menuntuk uang saku untuk sekolah. Untuk menuju sekolah pun saya kembali harus menempuh jarak 4-5 KM menyusuri hamparan sawah yang membentang dengan berjalan kaki.
3 tahun saya lalui di sekolah ini masih dengan mata yang sakit. Namun sepertinya lama kelamaan saya mulai terbiasa. Saya tak pernah mencatat ketika di kelas. Saya hanya mencatat saat di rumah dengan meminjam buku teman. Akhirnya saya lulus dengan kembali menyandang pemilik nilai ujian tertinggi paralel, yang memang hanya terdiri dari 2 kelas. Ketika itu ayah saya yang mengambil hasil ujiannya. Saya melihat jelas senyum di wajah beliau ketika saya dinyatakan peringkat 1 paralel. Benar-benar kebahagiaan yang sangat luar biasa, berharap bisa terus melihat senyum itu di wajahnya.
Kembali lulus dengan nilai yang baik membuat saya lagi-lagi berharap bisa lanjut ke SMA favorit. Tapi keinginan itu jelas-jelas ditolak karena biaya sangat mahal. Saya pun mengerti tentang hal itu. Dengan bujukan teman, akhirnya saya mendaftar di sebuah SMA yang berjarak 5 KM dari tempat tinggal saya, satu-satunya SMA Negeri di kecamatan saya tinggal. Dan kata orang-orang SMA itu adalah SMA termurah di masa itu. Lebih murah lagi bagi saya karena saya menempuh jarak ke sekolahnya dengan kembali berjalan kaki.
Saya mendaftar di hari terakhir pendaftaran dan alhamdulillah saya di terima. Setelah pengumuman penerimaan siswa baru, di wajibkan untuk membayar uang sebesar Rp. 460.000,00. Saya ingat sekali kala itu dijelaskan bahwa uang ini guna membayar uang pendaftaran Rp. 10.000,00, bayar majalah MOP dan buku perpustakaan Rp. 10.000,00, uang SPP bulan Juni Rp. 60.000,00, dan uang seragam Rp. 380.000,00.
Padahal pada saat itu saya tak membawa uang bahkan saya tahu dirumah pun tak ada uang sebanyak itu. Akhirnya saya beranikan diri untuk bilang ke petugas. Saya hanya di suruh pulang untuk mengambil uang dan akan ditunggu sampai pukul 4 sore. Saya segera pulang dan bergegas menemui ibu, karena ayah sedang di luar kota bekerja menjadi buruh. Seperti yang saya duga, tak ada uang sebanyak itu di rumah. Kemudian ibu mengajak saya dengan kedua adik kembar saya yang baru berumur 3 tahun ke tempat saudara unutk meminjam uang. Dan biaya sekolah SMA perdana ini di bayar dengan berhutang.
Mulai masuk SMA ternyata tidak mudah, saya yang backgroundnya lulusan Mts ternyata tertinggal cukup jauh dengan teman-teman yang dari SMP Negeri. Saya harus menyesuaikan diri dengan ketertinggalan saya dan berjuang cukup keras. Dengan perjuangan besar, saya bisa masuk 3 besar di setiap semesternya meski masih dengan mata yang sakit. Beruntung rasanya karena dengan prestasi 3 besar itu saya bisa memperoleh keringanan uang SPP selama 2 bulan. 
3 tahun di SMA cukup menguras biaya, begitu kata ayah dan ibu saya, membuat saya tak berani memimpikan lanjut ke perguruan tinggi. Namun guru-guru di SMA terus memotivasi untuk lanjut kuliah. Sampai suatu ketika saya di panggil guru BK untuk ke ruang kerjanya. Saya di minta untuk mendaftar di UGM dengan jalur PBU, kata beliau pada saat itu, jika saya lolos jalur PBUTM saya akan di bebaskan dari biaya pendidikan. Saya hanya tersenyum mendengarnya. Saya merasa itu terlalu tinggi untuk dicoba. Namun akhirnya saya mendaftar juga.
Saya mencari berkas-berkas persyaratan pendaftaran bersama ibu dan kedua adik kembar saya ke kelurahan dan kecamatan. Saya pada awalnya ragu bisa lolos, namun suatu malam saya melihat ibu saya sedang shalat tahajud dan mendo'akan saya agar di terima di UGM. Seketika itu keraguan akan di terima di UGM menjadi harapan besar. Dan alhamdulillah saya benar di terima di UGM di jurusan D3 bahasa perancis.
Meskipun setelah berita di terima ini membuat saya kembali down mengingat besarnya biaya hidup di Yogyakarta dengan keadaan finansial yang minim, selain itu mata saya yang tak sehat menambah kebingungan saya. Saya hanya bisa berserah pada Illahi dan berusaha melakukan yang terbaik.
Memang benar kebesaran-Nya, pertolongan hadir satu demi satu. Saya di bantu oleh sebuah keluarga yang sangat baik di Jogja, keluarga rekan dari kepala SMA saya. Beliau menampung saya di kos-kosannya tanpa menarik uang sewa. Saya hanya diminta untuk membantu membersihkan rumah dan sesekali menemani anak-anaknya untuk belajar atau bermain. Sedangkan mata saya, akhirnya saya memberanikan diri ke rumah sakit untuk memeriksakan mata saya dan mendapat bantuan dengan menggunakan softlens.
Sekarang, saya tak ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk meraih mimpi-mimpi saya. Saya yakin sesulit apapun kendalanya, selama saya bersabar dan berusaha melakukan yang terbaik maka Allah akan beri saya yang terbaik pula. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar