Sewaktu saya berumur 5 tahun, saya telah duduk di bangku SD
kelas 1. Sebenarnya saya belum dibolehkan untuk masuk sekolah karena belum
cukup umur. Namun karena saya sangat ingin segera sekolah akhirnya saya
diijinkan untuk masuk ke kelas 1 SD dengan catatan harus mengulang di tahun
berikutnya,.
Saya sekolah seperti teman yang lain, bedanya saya harus
menempuh jarak 4 KM dengan berjalan kaki untuk menuju sekolah dari tempat
tinggal saya. Cukup jauh memang, tapi itu sudah sekolah SD terdekat dari tempat
saya tinggal.
Setahun berlalu ternyata saya dibolehkan umtuk lanjut ke
kelas 2, katanya saya sudah bisa mengikuti pelajaran seperti teman yang lain.
Hari demi hari berlalu dengan cepat secepat saya belajar di sekolah ini.
Ketika saya duduk di kelas 3, ada satu hal yang tak bisa
saya pahami. Saya tak bisa melihat tulisan di papan tulis jika saya duduk di
bangku barisan belakang. Saat itu saya hanya diam tanpa bilang ke siapa pun.
Sejak saat itu saya berusaha selalu duduk di bangku barisan depan agar bisa
belajar di kelas seperti teman yang lain.
Malangnya, semakin lama mata saya semakin tak bisa membantu
saya belajar di kelas karena dalam jarak cukup dekat pun saya mengalami
kesulitan untuk membaca tulisan di papan tulis. Dengan begitu saya harus
mengejar ketinggalan materi di dalam kelas dengan membaca buku sendiri ketika
di rumah. Sedangkan ketika di kelas saya hanya berusaha mendengarkan penjelasan
dari guru meski tak bisa membaca apa yang guru tulis di papan tulis.
Suatu hari ketika saya kelas 5 SD, saya pernah diminta oleh
seorang guru untuk membaca sebuah kalimat di papan tulis. Dan karena
keterbatasan jarak pandang mata saya, akhirnya saya hanya diam dan tak tahu
harus berbuat apa. Suasana kelas pada saat itu menjadi hening. Saya yakin
banyak teman-teman yang memandang ke arah saya. Sedangkan saya hanya menunduk
dan lagi-lagi diam. Mungkin setelah itu saya bisa berpura-pura baik-baik saja.
Saya masih bisa bersikap biasa saja seakan tak ada masalah apapun. Saya tak
bercerita apa-apa ke siapa pun. Dan saya hanya diam.
Di luar dari sikap diam saya, sejatinya kejadian itu bak
tambaran keras bagi diri saya. Saya benar merasakan keterbatasan yang teramat
vital dalam diri saya. Mata saya tak seperti mata kalian, mata saya berbeda. Menyadari
keterbatasan ini membuat saya down. Namun karena kebodohan saya, tak ada
yang saya lakukan selain tetap diam. Pernah terpikir untuk bilang kepada orang
tua, namun apa daya, saya harus berpikir ulang karena keadaan finansial yang
tidak mendukung.
Saya kembali membiarkan keterbatasan ini mewarnai hari demi
hari. Walaupun tak jarang air mata ikut menghiasi. Sampai waktunya saya lulus
SD, saya belum bilang ke siapa pun tentang mata saya. Saya hanya diam karena
merasa tak pernah menemukan kesempatan yang pas untuk bilang ke orang tua.
Saya lulus SD dengan nilai ujian tertinggi di kelas. Ada
rasa bangga dengan pencapaian itu. Meskipun sebenarnya bukan apa-apa, tapi
dengan keterbatasan mata saya ini, saya bangga masih bisa menunjukkan prestasi.
Lulus dengan nilai yang cukup baik membuat saya ingin melanjutkan sekolah di
SMP favorit. Namun niat itu segera saya urungkan karena kendala finansial.
Akhirnya saya putuskan untuk sekolah di sebuah Mts yang
berjarak 4-5 KM dari tempat tinggal saya. Beruntung saya sekolah dengan
beasiswa, sehingga tidak membebankan orang tua. Selain itu saya juga tidak
pernah menuntuk uang saku untuk sekolah. Untuk menuju sekolah pun saya kembali
harus menempuh jarak 4-5 KM menyusuri hamparan sawah yang membentang dengan
berjalan kaki.
3 tahun saya lalui di sekolah ini masih dengan mata yang
sakit. Namun sepertinya lama kelamaan saya mulai terbiasa. Saya tak pernah
mencatat ketika di kelas. Saya hanya mencatat saat di rumah dengan meminjam
buku teman. Akhirnya saya lulus dengan kembali menyandang pemilik nilai ujian
tertinggi paralel, yang memang hanya terdiri dari 2 kelas. Ketika itu ayah saya
yang mengambil hasil ujiannya. Saya melihat jelas senyum di wajah beliau ketika
saya dinyatakan peringkat 1 paralel. Benar-benar kebahagiaan yang sangat luar
biasa, berharap bisa terus melihat senyum itu di wajahnya.
Kembali lulus dengan nilai yang baik membuat saya lagi-lagi
berharap bisa lanjut ke SMA favorit. Tapi keinginan itu jelas-jelas ditolak
karena biaya sangat mahal. Saya pun mengerti tentang hal itu. Dengan bujukan
teman, akhirnya saya mendaftar di sebuah SMA yang berjarak 5 KM dari tempat
tinggal saya, satu-satunya SMA Negeri di kecamatan saya tinggal. Dan kata
orang-orang SMA itu adalah SMA termurah di masa itu. Lebih murah lagi bagi saya
karena saya menempuh jarak ke sekolahnya dengan kembali berjalan kaki.
Saya mendaftar di hari terakhir pendaftaran dan
alhamdulillah saya di terima. Setelah pengumuman penerimaan siswa baru, di
wajibkan untuk membayar uang sebesar Rp. 460.000,00. Saya ingat sekali kala itu
dijelaskan bahwa uang ini guna membayar uang pendaftaran Rp. 10.000,00, bayar
majalah MOP dan buku perpustakaan Rp. 10.000,00, uang SPP bulan Juni Rp.
60.000,00, dan uang seragam Rp. 380.000,00.
Padahal pada saat itu saya tak membawa uang bahkan saya
tahu dirumah pun tak ada uang sebanyak itu. Akhirnya saya beranikan diri untuk
bilang ke petugas. Saya hanya di suruh pulang untuk mengambil uang dan akan
ditunggu sampai pukul 4 sore. Saya segera pulang dan bergegas menemui ibu, karena
ayah sedang di luar kota bekerja menjadi buruh. Seperti yang saya duga, tak ada
uang sebanyak itu di rumah. Kemudian ibu mengajak saya dengan kedua adik kembar
saya yang baru berumur 3 tahun ke tempat saudara unutk meminjam uang. Dan biaya
sekolah SMA perdana ini di bayar dengan berhutang.
Mulai masuk SMA ternyata tidak mudah, saya yang backgroundnya
lulusan Mts ternyata tertinggal cukup jauh dengan teman-teman yang dari SMP
Negeri. Saya harus menyesuaikan diri dengan ketertinggalan saya dan berjuang cukup
keras. Dengan perjuangan besar, saya bisa masuk 3 besar di setiap semesternya
meski masih dengan mata yang sakit. Beruntung rasanya karena dengan prestasi 3
besar itu saya bisa memperoleh keringanan uang SPP selama 2 bulan.
3 tahun di SMA cukup menguras biaya, begitu kata ayah dan
ibu saya, membuat saya tak berani memimpikan lanjut ke perguruan tinggi. Namun
guru-guru di SMA terus memotivasi untuk lanjut kuliah. Sampai suatu ketika saya
di panggil guru BK untuk ke ruang kerjanya. Saya di minta untuk mendaftar di
UGM dengan jalur PBU, kata beliau pada saat itu, jika saya lolos jalur PBUTM
saya akan di bebaskan dari biaya pendidikan. Saya hanya tersenyum mendengarnya.
Saya merasa itu terlalu tinggi untuk dicoba. Namun akhirnya saya mendaftar
juga.
Saya mencari berkas-berkas persyaratan pendaftaran bersama
ibu dan kedua adik kembar saya ke kelurahan dan kecamatan. Saya pada awalnya
ragu bisa lolos, namun suatu malam saya melihat ibu saya sedang shalat tahajud
dan mendo'akan saya agar di terima di UGM. Seketika itu keraguan akan di terima
di UGM menjadi harapan besar. Dan alhamdulillah saya benar di terima di UGM di
jurusan D3 bahasa perancis.
Meskipun setelah berita di terima ini membuat saya kembali down
mengingat besarnya biaya hidup di Yogyakarta dengan keadaan finansial yang minim,
selain itu mata saya yang tak sehat menambah kebingungan saya. Saya hanya bisa
berserah pada Illahi dan berusaha melakukan yang terbaik.
Memang benar kebesaran-Nya, pertolongan hadir satu demi
satu. Saya di bantu oleh sebuah keluarga yang sangat baik di Jogja, keluarga
rekan dari kepala SMA saya. Beliau menampung saya di kos-kosannya tanpa menarik
uang sewa. Saya hanya diminta untuk membantu membersihkan rumah dan sesekali
menemani anak-anaknya untuk belajar atau bermain. Sedangkan mata saya, akhirnya
saya memberanikan diri ke rumah sakit untuk memeriksakan mata saya dan mendapat
bantuan dengan menggunakan softlens.
Sekarang, saya tak ingin menyia-nyiakan waktu dan
kesempatan untuk meraih mimpi-mimpi saya. Saya yakin sesulit apapun kendalanya,
selama saya bersabar dan berusaha melakukan yang terbaik maka Allah akan beri
saya yang terbaik pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar