Terlahir dengan nama Larno, nama yang
cukup singkat, cenderung sangat singkat malah. Nama yang hanya terdiri atas
lima fonem, dua silabe, dan satu kata. Nama yang harus melekat dalam diri saya,
menjadi label saya (meskipun terpaksa) mungkin seumur hidup saya. Nama yang
bahkan saya dan pemberi nama itu pun, kakek saya, tidak paham benar artinya
ketika saya tanya.
Desa Patih, sebuah desa kecil yang
terletak di perbatasan kabupaten Karanganyar-Sukoharjo menjadi tempat lahir
saya. Desa yang luasnya tidak lebih dari luas dua lapangan sepak bola dengan
sawah-sawah menghijau yang senantiasa menghampar di sekelilingnya. Sayangnya,
memori tentang desa kecil nan sari itu tidak begitu melekat dalam ingatan saya.
Pasalnya, sekitar umur dua bulan, saya sudah diajak orang tua pergi merantau ke
Bekasi. Jadilah masa kecil saya pun saya habiskan di lingkungan padat penduduk
di daerah urban di pingggiran kota Bekasi. Baru sekitar umur enam tahun saya pindah
dan sekolah di desa kelahiran saya, meskipun orang tua terus menerus membujuk
saya sekolah di Bekasi. ‘Lebih dekat, juga lebih bagus’ kata orang tua saya.
Namun, kala itu, saya pun tetap bersikukuh sekolah di desa. Alhasil, saya
diizinkan sekolah di desa setelah satu minggu mogok makan. Saya tidak ingat betul
kejadiannya. Ibu yang bercerita.
Di desa, saya tinggal bersama kakek,
almarhumah nenek, dan bulik (adik ibu saya). Kami hidup dengan sederhana. Kakek
setiap hari bekerja di sawah, sementara almarhumah nenek dan Bulik menggembala
kambing. Kebisaan hidup di kota membuat saya awalnya tumbuh menjadi anak yang
sedikit manja. Saya tidak mau membantu perkerjaan kakek di sawah atau pekerjaan
nenek dan bulik menggembala kambing. Saya juga tumbuh menjadi anak yang asosial
karena mrasa kurang cocok dengan pergaulan teman-teman sebaya saya di desa.
Saya lebih senang mengurung diri di rumah. Memilih menonton televisi atau membaca
apapun yang bisa dibaca, daripada bermain bersama teman-teman sebaya saya. Alhasil,
meskipun prestasi akademik saya bagus, kemampuan interaksi sosial saya sangat
buruk.
Hal tersebut berlangsung sampai saya
menginjak bangku SMP. Saya berhasil masuk ke SMP yang cukup favorit di
kabupaten saya. Sekolah saya termasuk salah satu dari beberapa sekolah yang
sudah berstandar nasional (SSN) pada waktu itu. Perstasi akademik saya pun
terbilang cukup bagus, meskipun kemampuan intersksi sosial saya tidak banyak
berubah tiga tahun sekolah di SMP berlalu begitu saja, seperti makan bakso,
dikunyah 32. Perlahan. Lalu ditelan. Tanpa sensasi. Dengan berbekal nilai ujian
nasional yang cukup bagus, saya mencoba mendaftar di SMA terfavorit di
kabupaten Sukoharjo.
Banyak tetangga yang menyayangkan bahkan mencibir pilihan saya masuk SMA.
Mnegapa harus SMA? Mengapa tidak SMK? Mengingat kondisi ekonomi keluarga saya,
keputusan saya masuk SMA dianggap terlalu berani. Apalagi, sudah menjadi hal
yang lazim bagi teman-teman sebaya saya masuk SMK setelah lulus SMP. “Biar nanti
kalau lulus langsung kerja” kata mereka. Yang bisa masuk SMK pun masih tergolong
beruntung. Banyak juga teman-teman seangkatan saya yang langsung merantau
selepas lulus SMP atau bahkan langsung menikah dan meneruskan pekerjaan orang
tua sebagai petani.
Namun saya tetap pada pilihan saya. Saya
ingin berubah. Tidak hanya diri saya, tetapi juga derajat orang tua, mengubah
kehidupan keluarga saya. Saya ingin sekolah yang tinggi, bahkan kalau perlu
sampai jenjang perguruan tinggi, begitu keinginan saya dulu. Untungnya orang
tua saya pun mengizinkan dan menyerahkan semua keputusan di tangan saya,
meskipun tetap terbersit kekhawatiran bagaimana saya nanti akan melanjutkan
studi saya setelah lulus SMA. Akhirnya, saya pun diterima di SMA terfavorit di
kabupaten saya.
Prestasi akademik saya agak menurun pada
tahun awal saya masuk SMA. Saya pun perlu adaptas ekstra untuk dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sama sekali baru, yang sama sekali
berbeda dengan lingkungan SD dan SMP saya. Saya minder dengan teman-teman yang
berasal dari keluarga menengah ke atas. Apalagi dengan kemampuan interaksi sosial
yang rendah, saya pun semakin sulit beradaptasi. Alhasil jadilah saya anak aneh,
cupu, dan pendiam di kelas. Hal tersebut sempat membuat saya frustasi. Bahkan, terbersit
di pikiran saya untuk meninggalkan bangsu SMA. Namun, orang tua saya selalu
member motivasi kepada saya untuk terus melanjutkan pendidikan, kalau bisa
sampai jenjang perguruan tinggi.
Satu nasehat bapak yang masih saya ingat
hingga sekarang ‘Bapak memang miskin, bapak tidak bisa mewariskan banyak uang
kepadamu nantinya. Bapak hanya ingin mewariskan ilmu. Hanya itu yang bisa bapak
berikan. Uang, berapapun bisa habis, tapi ilmu , ilmu tidak akan habis, bahkan
jika kau bagikan pada seribu orang sekalipun’. Mendengar nasihat Bapak, saya merasa
malu dan kembali termotivasi untuk melanjutkan sekolah. Memilih masuk SMA
adalah keputusan saya sendiri. Akan sangat kurang ajar jika saya berhenti di awal
ketika orang tua saya bekerja keras membanting tulang di rantau. Akhirnya, saya
pun melanjutkan sekolah saya. Dengan semangat baru. Tahun pertama SMA pun
terlewati.
Naik ke kelas dua, saya memutuskan
mengambil jurusan Bahasa. Jurusan yang sama sekali tidak dilirik apalagi diminati
di sekolah saya. Jurusan yang merupakan jurusan buangan bagi mereka yang tidak
diterima di jurusan IPA, dan didepak di jurusan IPS. Namun, saya tetap keukeh mengambil jurusan Bahasa, meskipun
nilai saya memungkinkan untuk masuk jurusan IPS, bahkan IPA sekalipun.
Semenjak awal saya memang paling senang membaca,
terutama membaca karya sastra. Bagi saya yang seorang introvert, sastra merupakan teman. Teman ketika saya sendirian.
Sunia sastra merupakan satu-satunya dunia yang bisa menerima saya. Saya seolah menemukan
kehidupan, dalam dimensi yang lain. Sebuah kehidupan yang bebas saya
imajinasikan. Sebuah dunia yang terbentuk lewat tokoh-tokoh dan semestanya,
lewat alur yang terangkai di dalamnya, lewat amanat yang tersemat di tiap
barisnya. Saya seolah menemukan dunia saya yang hilang. Meskipun banyak yang bilang,
dunia saya itu hanya ilusi, hanya imaji. Namun saya tidak peduli. Bagi saya, sastra membantu memanusiakan manusia yang kehilangan
kemanusiaannya. Sesuatu yang tidak saya temui, di dunia yang oleh kebanyakan
orang dibilang ‘nyata’.
Di kelas Bahasa, saya tidak hanya
menemukan teman, tetapi juga suadara seperjuangan. Entah karena kesamaan minat
pilihan atau karena perasaan senasib merasa terbuang dari kelas lain, kelas
kami menjadi kelas yang paling solid, paling kompak, dan paing menonjol di
bidang akademik di antara kelas-kelas yang lain. Saya pun mulai bisa
berinterkasi dan bahkan menjalin persahabatan. Dunia saya seolah beubah,
seratus delapan puluh derajat. Saat itulah saya merasakan indahnya masa-masa
SMA.
Prestasi akademik saya pun meningkat bahkan
hingga menjelang akhir kelas tiga. Ketika itu, teman-teman saya sibuk mengurus
PMDK. Saya tidak tertarik pada PMDK yang ditawarkan dari berbagai perguruan
tinggi tersebut. Di benak saya saat itu, kalaupun saya harus kuliah, saya harus
kuliah di universitas-universitas terbaik di negeri ini. “Sekalian yang buang
uang, sekalian yang prihatin nantinya” pikir saya saat itu. Pilihan saya saat
itu jika tidak Universitas Indonesia, ya Universitas Gadjah Mada. Saya terus
menanti PMDK yang ditawarkan dari UI karena memang UGM tidak menawarkan PMDK.
Ketika ada pengumuman penawaran PMDK dari UI, betapa saya kaget dan kecewa. Dari 10
forumulir yang diberikan ke sekolah saya, hanya astu formulir yang dialokasikan
ke kelas bahasa. Padahal, tahun sebelumnya ada lima formulir yang diberikan
untuk kelas bahasa. Alasannya, kelas Bahasa dianggap menjadi bagian dari kelas
IPS. Sejak saat itu saya sadar, bahwa minoritas mungkin selamannya tidak akan mendapat
tempat di negeri ini.
Saya pun juga terlanjur tidak mengikuti
UM UGM. Hanya SNMPTN kesempatan saya saat itu. Untuk mengikuti SNMPTN pun, saya
juga harung menghadapi banyak hambatan. Dalam SNMPTN, hanya ada 3 jalur yang
bisa dipilih, IPA, IPS, dan IPC. Tidak ada jalur Bahasa Bahasa dianggap bagian
dari IPS. Bukti lain diskriminasi minoritas. Saya pun harus pontang-panting
belajar secara otodidak mata pelajaran ekonomi, sosiologi, geografi, dan
sebagian pelajaran matematika yang tidak saya dapatkan di kelas Bahasa. Mata
pelajaran yang diajarkan selama dua tahun itupun harus saya kuasai dalam satu
bulan. Saya pun tidak mengikuti les atau tambahan pelajaran di luar karena
biayanya pasti sangat mahal. Membebani orang tua, pikir saya. Saya dan beberapa
teman saya pun membentuk kelompok diskusi di sebuah mushala di depan sekolah.
Kebetulan teman saya diberi amanah untuk mengurus mushala tersebut. Di mushala
itulah setiap sore selepas sekolah kami belajar secara otodidak, mengandalkan
buku-buku kumpulan soal SNMPTN tahun sebelumnya.
Berbekal niat, tekad, dan nekat serta
doa restu dari orang tua saya pun mengikuti ujian SNMPTN. Sesuai komitmen awal
saya, saya memilih jurusan Antropologi Sosial di Universitas Indonesia sebagai
pilihan pertama dan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada sebagai pilihan
kedua. Pilihan yang berani, celetuk pengawas ujian ketika melihat pilihan yang
tertera di kartu ujian saya. Namun dari senyum tipis di wajah Beliau, saya bisa
membaca isyarat lain “Pilihan yang nekat, mau bunuh diri?”. Saya pun terenyum
kecut.
Sastra Indonesia UGM, begitulah yang
tertulis di akun SNMPTN saya yang saya buka lewat ponsel selepas maghrib itu.
Alhamdulillah. Pengumuman itu membuat saya lega dan bahagia, apalagi bapak juga
ikut tersenyum bangga di samping saya. Saya hampir resmi menjadi mahasiswa UGM.
Ya. Hampir. Biaya menjadi kendala saya saat itu. Uang tujuh juta sekian bukan
jumlah yang kecil bagi keluarga saya. Pontang-panting bapak mencari pinjaman ke
tetangga. Saya sempat psimis. Sempat pula saya berpikir untuk melepaskan saja status
saya sebagai calom mahasiswa UGM. Saya tidak tega melihat bapak menggadai
sepeda motor, berkeliling dari pintu ke pintu mencari pinjaman uang. Namun
akhirnya Allah member jalan. H-1 jam sebelum batas akhir pembayaran, uang pendaftaran
terkumpul.
Bapak langsung emngambil sepeda onthel
yang tersandar di sudut ruangan. Beliau menyuruh saya naik. Dengan semangat
berapi-api, bapak mengantar saya ke Bank Mandiri terdekat yang jaraknya sekitar
20 km dari rumah saya, naik sepeda. Motor kami satu-satunya telah tergadai menutupi
kekurangan biaya pendaftaran. Bersimbah keringat Bapak mengayuh sepeda,
berharap kami bisa sampai di bank tepat waktu. Sekitar 45 menit kemudian kami sampai. Bapak
menunggu di luar sementara saya masuk ke dalam. Ketika saya keluar dari dalam
bank, Bapak menyambut dengan senyum meskipun keringat membasahi sekujur tubuh
Beliau. Perasaan haru membuncah di dada saya. Mungkin itulah momen paling berharga
yang akan terus saya kenang seumur hidup saya.
Di Jogja, pada tahun pertama dan kedua,
saya harus berbgai ruangan 2,75 x 3 meter dengan teman saya. Alasannya, agar
sewa kos lebih murah. Saya pun memilih kos yang dekat meskipun harganya agak
lebih mahal agar saya bisa berjalan kaki ke kampus. Tidak mendapatkan beasiswa
bidik misi pada saat itu membuat hati saya kecut. Padahal, dengan beasiswa
tersebut, saya bisa sedikit meringankan beban orang tua saya. Saya pun mencari
alternatif beasiswa lain, yakni PPA dan tunjangan hidup RZIS UGM. Meskipun
nominalnya tidak sebesar bidik misi, tetapi dana dari beasiswa-beasiswa
tersebut cukup membantu studi saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar