Artikel Populer


Selamat Datang di Blog Resmi RZIS UGM

Senin, 01 Juli 2013

Biografi Narasi by Larno Anggoro Palguno Sastra Indonesia 2010


Terlahir dengan nama Larno, nama yang cukup singkat, cenderung sangat singkat malah. Nama yang hanya terdiri atas lima fonem, dua silabe, dan satu kata. Nama yang harus melekat dalam diri saya, menjadi label saya (meskipun terpaksa) mungkin seumur hidup saya. Nama yang bahkan saya dan pemberi nama itu pun, kakek saya, tidak paham benar artinya ketika saya tanya.

Desa Patih, sebuah desa kecil yang terletak di perbatasan kabupaten Karanganyar-Sukoharjo menjadi tempat lahir saya. Desa yang luasnya tidak lebih dari luas dua lapangan sepak bola dengan sawah-sawah menghijau yang senantiasa menghampar di sekelilingnya. Sayangnya, memori tentang desa kecil nan sari itu tidak begitu melekat dalam ingatan saya. Pasalnya, sekitar umur dua bulan, saya sudah diajak orang tua pergi merantau ke Bekasi. Jadilah masa kecil saya pun saya habiskan di lingkungan padat penduduk di daerah urban di pingggiran kota Bekasi. Baru sekitar umur enam tahun saya pindah dan sekolah di desa kelahiran saya, meskipun orang tua terus menerus membujuk saya sekolah di Bekasi. ‘Lebih dekat, juga lebih bagus’ kata orang tua saya. Namun, kala itu, saya pun tetap bersikukuh sekolah di desa. Alhasil, saya diizinkan sekolah di desa setelah satu minggu mogok makan. Saya tidak ingat betul kejadiannya. Ibu yang bercerita.
Di desa, saya tinggal bersama kakek, almarhumah nenek, dan bulik (adik ibu saya). Kami hidup dengan sederhana. Kakek setiap hari bekerja di sawah, sementara almarhumah nenek dan Bulik menggembala kambing. Kebisaan hidup di kota membuat saya awalnya tumbuh menjadi anak yang sedikit manja. Saya tidak mau membantu perkerjaan kakek di sawah atau pekerjaan nenek dan bulik menggembala kambing. Saya juga tumbuh menjadi anak yang asosial karena mrasa kurang cocok dengan pergaulan teman-teman sebaya saya di desa. Saya lebih senang mengurung diri di rumah. Memilih menonton televisi atau membaca apapun yang bisa dibaca, daripada bermain bersama teman-teman sebaya saya. Alhasil, meskipun prestasi akademik saya bagus, kemampuan interaksi sosial saya sangat buruk.

Hal tersebut berlangsung sampai saya menginjak bangku SMP. Saya berhasil masuk ke SMP yang cukup favorit di kabupaten saya. Sekolah saya termasuk salah satu dari beberapa sekolah yang sudah berstandar nasional (SSN) pada waktu itu. Perstasi akademik saya pun terbilang cukup bagus, meskipun kemampuan intersksi sosial saya tidak banyak berubah tiga tahun sekolah di SMP berlalu begitu saja, seperti makan bakso, dikunyah 32. Perlahan. Lalu ditelan. Tanpa sensasi. Dengan berbekal nilai ujian nasional yang cukup bagus, saya mencoba mendaftar di SMA terfavorit di kabupaten Sukoharjo.
Banyak tetangga yang menyayangkan  bahkan mencibir pilihan saya masuk SMA. Mnegapa harus SMA? Mengapa tidak SMK? Mengingat kondisi ekonomi keluarga saya, keputusan saya masuk SMA dianggap terlalu berani. Apalagi, sudah menjadi hal yang lazim bagi teman-teman sebaya saya masuk SMK setelah lulus SMP. “Biar nanti kalau lulus langsung kerja” kata mereka. Yang bisa masuk SMK pun masih tergolong beruntung. Banyak juga teman-teman seangkatan saya yang langsung merantau selepas lulus SMP atau bahkan langsung menikah dan meneruskan pekerjaan orang tua sebagai petani.
Namun saya tetap pada pilihan saya. Saya ingin berubah. Tidak hanya diri saya, tetapi juga derajat orang tua, mengubah kehidupan keluarga saya. Saya ingin sekolah yang tinggi, bahkan kalau perlu sampai jenjang perguruan tinggi, begitu keinginan saya dulu. Untungnya orang tua saya pun mengizinkan dan menyerahkan semua keputusan di tangan saya, meskipun tetap terbersit kekhawatiran bagaimana saya nanti akan melanjutkan studi saya setelah lulus SMA. Akhirnya, saya pun diterima di SMA terfavorit di kabupaten saya.
Prestasi akademik saya agak menurun pada tahun awal saya masuk SMA. Saya pun perlu adaptas ekstra untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sama sekali baru, yang sama sekali berbeda dengan lingkungan SD dan SMP saya. Saya minder dengan teman-teman yang berasal dari keluarga menengah ke atas. Apalagi dengan kemampuan interaksi sosial yang rendah, saya pun semakin sulit beradaptasi. Alhasil jadilah saya anak aneh, cupu, dan pendiam di kelas. Hal tersebut sempat membuat saya frustasi. Bahkan, terbersit di pikiran saya untuk meninggalkan bangsu SMA. Namun, orang tua saya selalu member motivasi kepada saya untuk terus melanjutkan pendidikan, kalau bisa sampai jenjang perguruan tinggi.
Satu nasehat bapak yang masih saya ingat hingga sekarang ‘Bapak memang miskin, bapak tidak bisa mewariskan banyak uang kepadamu nantinya. Bapak hanya ingin mewariskan ilmu. Hanya itu yang bisa bapak berikan. Uang, berapapun bisa habis, tapi ilmu , ilmu tidak akan habis, bahkan jika kau bagikan pada seribu orang sekalipun’. Mendengar nasihat Bapak, saya merasa malu dan kembali termotivasi untuk melanjutkan sekolah. Memilih masuk SMA adalah keputusan saya sendiri. Akan sangat kurang ajar jika saya berhenti di awal ketika orang tua saya bekerja keras membanting tulang di rantau. Akhirnya, saya pun melanjutkan sekolah saya. Dengan semangat baru. Tahun pertama SMA pun terlewati.
            Naik ke kelas dua, saya memutuskan mengambil jurusan Bahasa. Jurusan yang sama sekali tidak dilirik apalagi diminati di sekolah saya. Jurusan yang merupakan jurusan buangan bagi mereka yang tidak diterima di jurusan IPA, dan didepak di jurusan IPS. Namun, saya tetap keukeh mengambil jurusan Bahasa, meskipun nilai saya memungkinkan untuk masuk jurusan IPS, bahkan IPA sekalipun.
Semenjak awal saya memang paling senang membaca, terutama membaca karya sastra. Bagi saya yang seorang introvert, sastra merupakan teman. Teman ketika saya sendirian. Sunia sastra merupakan satu-satunya dunia yang bisa menerima saya. Saya seolah menemukan kehidupan, dalam dimensi yang lain. Sebuah kehidupan yang bebas saya imajinasikan. Sebuah dunia yang terbentuk lewat tokoh-tokoh dan semestanya, lewat alur yang terangkai di dalamnya, lewat amanat yang tersemat di tiap barisnya. Saya seolah menemukan dunia saya yang hilang. Meskipun banyak yang bilang, dunia saya itu hanya ilusi, hanya imaji. Namun saya tidak peduli. Bagi saya, sastra  membantu memanusiakan manusia yang kehilangan kemanusiaannya. Sesuatu yang tidak saya temui, di dunia yang oleh kebanyakan orang dibilang ‘nyata’.
Di kelas Bahasa, saya tidak hanya menemukan teman, tetapi juga suadara seperjuangan. Entah karena kesamaan minat pilihan atau karena perasaan senasib merasa terbuang dari kelas lain, kelas kami menjadi kelas yang paling solid, paling kompak, dan paing menonjol di bidang akademik di antara kelas-kelas yang lain. Saya pun mulai bisa berinterkasi dan bahkan menjalin persahabatan. Dunia saya seolah beubah, seratus delapan puluh derajat. Saat itulah saya merasakan indahnya masa-masa SMA.
Prestasi akademik saya pun meningkat bahkan hingga menjelang akhir kelas tiga. Ketika itu, teman-teman saya sibuk mengurus PMDK. Saya tidak tertarik pada PMDK yang ditawarkan dari berbagai perguruan tinggi tersebut. Di benak saya saat itu, kalaupun saya harus kuliah, saya harus kuliah di universitas-universitas terbaik di negeri ini. “Sekalian yang buang uang, sekalian yang prihatin nantinya” pikir saya saat itu. Pilihan saya saat itu jika tidak Universitas Indonesia, ya Universitas Gadjah Mada. Saya terus menanti PMDK yang ditawarkan dari UI karena memang UGM tidak menawarkan PMDK. Ketika ada pengumuman penawaran PMDK dari UI,  betapa saya kaget dan kecewa. Dari 10 forumulir yang diberikan ke sekolah saya, hanya astu formulir yang dialokasikan ke kelas bahasa. Padahal, tahun sebelumnya ada lima formulir yang diberikan untuk kelas bahasa. Alasannya, kelas Bahasa dianggap menjadi bagian dari kelas IPS. Sejak saat itu saya sadar, bahwa minoritas mungkin selamannya tidak akan mendapat tempat di negeri ini.
Saya pun juga terlanjur tidak mengikuti UM UGM. Hanya SNMPTN kesempatan saya saat itu. Untuk mengikuti SNMPTN pun, saya juga harung menghadapi banyak hambatan. Dalam SNMPTN, hanya ada 3 jalur yang bisa dipilih, IPA, IPS, dan IPC. Tidak ada jalur Bahasa Bahasa dianggap bagian dari IPS. Bukti lain diskriminasi minoritas. Saya pun harus pontang-panting belajar secara otodidak mata pelajaran ekonomi, sosiologi, geografi, dan sebagian pelajaran matematika yang tidak saya dapatkan di kelas Bahasa. Mata pelajaran yang diajarkan selama dua tahun itupun harus saya kuasai dalam satu bulan. Saya pun tidak mengikuti les atau tambahan pelajaran di luar karena biayanya pasti sangat mahal. Membebani orang tua, pikir saya. Saya dan beberapa teman saya pun membentuk kelompok diskusi di sebuah mushala di depan sekolah. Kebetulan teman saya diberi amanah untuk mengurus mushala tersebut. Di mushala itulah setiap sore selepas sekolah kami belajar secara otodidak, mengandalkan buku-buku kumpulan soal SNMPTN tahun sebelumnya.
Berbekal niat, tekad, dan nekat serta doa restu dari orang tua saya pun mengikuti ujian SNMPTN. Sesuai komitmen awal saya, saya memilih jurusan Antropologi Sosial di Universitas Indonesia sebagai pilihan pertama dan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada sebagai pilihan kedua. Pilihan yang berani, celetuk pengawas ujian ketika melihat pilihan yang tertera di kartu ujian saya. Namun dari senyum tipis di wajah Beliau, saya bisa membaca isyarat lain “Pilihan yang nekat, mau bunuh diri?”. Saya pun terenyum kecut.
Sastra Indonesia UGM, begitulah yang tertulis di akun SNMPTN saya yang saya buka lewat ponsel selepas maghrib itu. Alhamdulillah. Pengumuman itu membuat saya lega dan bahagia, apalagi bapak juga ikut tersenyum bangga di samping saya. Saya hampir resmi menjadi mahasiswa UGM. Ya. Hampir. Biaya menjadi kendala saya saat itu. Uang tujuh juta sekian bukan jumlah yang kecil bagi keluarga saya. Pontang-panting bapak mencari pinjaman ke tetangga. Saya sempat psimis. Sempat pula saya berpikir untuk melepaskan saja status saya sebagai calom mahasiswa UGM. Saya tidak tega melihat bapak menggadai sepeda motor, berkeliling dari pintu ke pintu mencari pinjaman uang. Namun akhirnya Allah member jalan. H-1 jam sebelum batas akhir pembayaran, uang pendaftaran terkumpul.
Bapak langsung emngambil sepeda onthel yang tersandar di sudut ruangan. Beliau menyuruh saya naik. Dengan semangat berapi-api, bapak mengantar saya ke Bank Mandiri terdekat yang jaraknya sekitar 20 km dari rumah saya, naik sepeda. Motor kami satu-satunya telah tergadai menutupi kekurangan biaya pendaftaran. Bersimbah keringat Bapak mengayuh sepeda, berharap kami bisa sampai di bank tepat waktu.  Sekitar 45 menit kemudian kami sampai. Bapak menunggu di luar sementara saya masuk ke dalam. Ketika saya keluar dari dalam bank, Bapak menyambut dengan senyum meskipun keringat membasahi sekujur tubuh Beliau. Perasaan haru membuncah di dada saya. Mungkin itulah momen paling berharga yang akan terus saya kenang seumur hidup saya.
Di Jogja, pada tahun pertama dan kedua, saya harus berbgai ruangan 2,75 x 3 meter dengan teman saya. Alasannya, agar sewa kos lebih murah. Saya pun memilih kos yang dekat meskipun harganya agak lebih mahal agar saya bisa berjalan kaki ke kampus. Tidak mendapatkan beasiswa bidik misi pada saat itu membuat hati saya kecut. Padahal, dengan beasiswa tersebut, saya bisa sedikit meringankan beban orang tua saya. Saya pun mencari alternatif beasiswa lain, yakni PPA dan tunjangan hidup RZIS UGM. Meskipun nominalnya tidak sebesar bidik misi, tetapi dana dari beasiswa-beasiswa tersebut cukup membantu studi saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar