Assalamualaikum Wr Wb…
Bukan hal
yang mudah untuk bisa melangkah dari kota Soto ke kota Bakpia ini. Banyak
tantangan yang harus di lawan demi ilmu. Begitu juga banyak kendala untuk dapat
masuk ke universitas terbesar di Indonesia ini. Perjuangan yang tak mungkin aku lupakan begitu saja, hingga
akhirnya saya bisa duduk di bangku perkuliahan ini. Satu yang saya ingat bahwa
Allah maha adil dengan semua jerih payah dan usaha hamba- hamba-Nya.
Sapaan akrab saya dengan Unun Aisyiyah. Saya lahir
di lamongan, 26 nopember 1193. Saya di
lahirkan dari keluarga yang sederhana, tidak muluk- muluk, dan insyaAllah
selalu menerima apa adanya. Sejak kecil saya selalu punya keinginan kuat untuk
bisa sekolah yang tinggi seperti orang- orang cerdas di salah satu stasiun
televise. Entah kenapa saya yakin dan mantap suatu saat bisa merubah kehidupan
rakyat kecil di Indonesia ini. Sejak kecil bapak saya selalu mengajari saya
untuk hidup bersosial dengan masyarakat, yang hingga kini ilmu itu tertanam
kuat dalam hati saya. Dunia politik merupakan impian saya saat itu. Saya
termotifasi oleh bapak Amien Rais, beliau orang yang kaya tapi selalu
memikirkan orang- orang yang ada di bawah. Bagi saya, beliau pemimpin yang
hebat, cerdas, dan apa adanya. Saat itu saya pernah bercita- cita daftar di
universitas ini dan masuk pada FISIPOL. Tapi semua saya ikhlaskan saat saya
harus memilih jurusan agrondustri. Karena saya dari IPA, mau atau tidak mau saya
harus tetap lanjut ke jenjang selanjutnya yang sejalan dengan IPA. Hingga
akhirnya Agroindustri menyakinkan saya untuk bisa menjadi orang sukses.
Semenjak kecil saya di lahirkan dari keluarga
muhammadiyah, jadi semua pelajaran, ilmu, segalanya berlandaskan Al- qur’an dan
Hadist. Saya sekolah di TK ABA (Aisyiyah Bustanul Atfal) gempol pading, MI
Muhammadiyah 05 Gempol Pading. Jenjang SMP Muhammadiyah Sendangagung Paciran
Lamongan dan MA Al-Ishlah Paciran Lamongan. Dari SMP-MA saya mondok di PONPES
AL- ISHLAH Sendangagung Paciran Lamongan. Ketika keluar dari MIM, saya
mempunyai keinginan besar untuk masuk pondok. Tapi di lain sisi oarng tua saya
melarang. Saat itu terdesak oleh ekonomi yang menghancurkan tekad untuk mondok.
Unun Aisyiyah tidak pernah nyerah, selalu membujuk bapak dan ibunya agar di beri izin untuk menimbah ilmu agama
di pondok. Akhirnya dengan melihat tekat saya yang kuat, orang tua mengizinkan,
dan Allah pun memudahkan rezekinya pada kami. Jarak antara rumah saya dengan
pondok berkisar 1,5 jam. Saat itu orang tua saya mengantarkan ke pondok dengan
meminjam kendaraan saudara bapak. Setiap hari jum’at, saat teman- teman saya di
kunjungi, saya sering nangis karna tidak di kunjungi sendiri. Alhamdulillah
saya mempunyai teman- teman yang baik dan pengertian. Mereka selalu menghibur
di kala saya sedih atau menangis. Ketika yang lain satu minggu sekali di kunjungi oleh keluarganya, saya 2-3 bulan
sekali baru di kunjungi. Itu bukan suatu hal yang mudah untuk di terima bagi
anak kecil yang masih berumur 12 tahun. Karena saya selalu berfikir kalau orang
tuaku bukan hanya membiayai aku saja, masih ada kakak dan dua adik saya.
Sehingga mau tudak mau saya pendam rasa saking kepinginya di kunjungi.
Selama hidup di pondok, saya mengerjakan semua
sendiri, dari mulai hal kecil sampai yang besar. Banyak kenangan manis dan
pahit yang saya jalani sendiri maupun dengan teman- teman.apapun yang di
kerjakan selalu mengantri terlebih dahulu. Sampai tak terasa 3 tahun berlalu,
masa SMP pun usai. Ketika menjelang ajaran baru, saya berkeinginan untuk daftar
di salah satu sekolah negeri. Karna saya berfikir negeri lebih maju dari pada
swasta. Tapi saya salah besar, negeri bukan segalanya. Bapak saya member uang
kepada saya untuk pergi mendaftar sekolah di pondok yang pernah saya tinggali.
Kecewa, sedih, marah bukan main saat bapak memutuskan untuk tetap sekolah di sana. Hingga usai pembayaran
uang gedung, saya tetap tidak mau balik ke pondok. Alasan saya menolak balik ke pondok adalah sudah capek
hidup di pondok, terlalu banyak hukuman yang saya peroleh, terlalu banyak
pelanggaran yang saya lakukan. Saya ingat sekali saat bapak marah bukan main
karena saya tidak mau balik pondok, beliau memberi saya uang hampir 1.000.000
untuk mencari dan mendaftar sekolah sendiri. Beliau tidak mau ambil pusing
dengan keinginan saya. Saat hari H tiba saya berpamitan dengan keluarga, saya
menangis tidak mau balik ke pondok. Sampai
tiba di pondokpun tetap nangis.
Akhirnya lama- kelamaan saya sadar, bahwa apa yang
di lakukan orang tua ke anaknya itu sesuatu yang terbaik. Karena oarng tua
mengerti apa yang terbaik buat anaknya, dan anaknya belum tentu mengerti bahwa
yang mereka berikan ke orang tua itu terbaik. Selama 6 tahun sudah saya jalani
kehidupan di pondok. Saya bangga di besarkan dalam lingkungan yang beragama
kuat, disiplin. Selama di pondok saya selalu meluangkan waktu untuk sholat
sunnah tahajud, dhuha, hajat, serta puasa sunnah. Alhamdululillah usaha dan
do’a saya di dengar Allah. Saya di terima di UGM melalui jalur beasiswa PBUTM.
Saya lega setidaknya bisa meringankan
beban orang tua. Saya berterimakasih pada Allah SWT dan juga kedua orang tua
saya dan juga pihak Univ. Selama menjadi MABA. Di sini saya sempat berfikir,
apa tujuan utama kuliah ini?? Hanya ada satu alasan yang mendorong saya untuk
tetap berkeinginan untuk mengenyam ilmu di bangku kuliah, yaitu mencari
sebanyak mungkin ilmu- ilmu yang belum saya kenal. Kita tidak boleh iri dalam
hal apapun, tapi hanya satu alasan yang memperbolehkan untuk iri, yaitu ILMU.
Dengan tekad dan semangat yang besar saya ke kampus berangkat pukul
07:00-16:00, dengan di temani sepeda pancal andalan saya. Setiap saya selesai
sholat, saya selalu menyempatkan untuk berdo’a dengan semua jerih payah yanag
telah orang tua saya lakukan. Saya bangga mempunyai bapak yang selalu mendukung
cita- cita. Beliau selalu mengobarkan semangat tinggi untuk meraih cita- cita
saya. Bagi saya, My Father Is My Hero.
Aquulu syukron ilaAllah..
Aquulu syukron ila Abi
Aquulu syukron ila UGM
Aquulu syukron ila R-zis
Wassalamualaikum Wr
Wb….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar