Okta, begitulah
biasa aku dipanggil, anak kedua dari tiga bersaudara. Aku dibesarkan di tengah
keluarga yang sederhana dan penuh kasih sayang. Ayahku seorang pedagang bakso
dan ibuku seorang penjual jamu, mereka sangat menyayangi kami meskipun tidak
dengan selalu memberikan banyak hadiah seperti yang diterima anak lain. Kasih
sayang dan perhatian yang mereka berikan lebih dari cukup untuk kami. Aku
sangat memahami kesulitan yang dihadapi kedua orang tuaku. Dengan penuh
keikhlasan tanpa pernah sedikitpun mengeluh, mereka berjualan dari pagi hingga
malam untuk memenuhi kebutuhan kami. Sejak kecil aku selalu berusaha untuk
mandiri karena sudah memiliki adik ketika masih TK dan kakakku seorang
laki-laki yang terpaut lima tahun dariku sehingga kami kurang dekat.
Alhamdulillah aku
cukup berprestasi di sekolah, senang sekali rasanya dapat memberi sedikit
kebahagiaan untuk orang tuaku. Tak banyak yang bisa kulakukan untuk membantu
mereka, hanya berusaha untuk menjadi anak yang baik dan membantu pekerjaan
mereka di rumah.
Sepuluh tahun
yang lalu, ketika aku masih kelas lima SD, ibuku terserang kanker dan diketahui
sudah stadium tiga. Sedih rasanya mengenang hari itu, aku masih kecil dan belum
mengerti apa-apa. Yang aku tahu, ibuku tidak menyerah begitu saja, dengan
segala keterbatasan biaya, ibu dan ayahku tetap berjuang untuk kesembuhan
ibu. Penyakitnya yang sudah terlanjur sangat parah mengharuskannya melakukan
berbagai rangkaiaan pengobatan yang tidak sedikit dan tidak murah. Mulai dari
kemoterapi, operasi hingga radiasi dan segala rasa lelah dan sakit yang tak
terkira, sungguh ibuku tak pernah menyerah. Setiap minggu juga ayahku harus
mengurus kartu jamkesmas karena jika tanpa itu sudah tak mampu lagi ayah
membayar semua pengobatan ibu. Dengan keikhlasan dan perjuangan yang tak pernah
lelah selama kurang lebih dua tahun akhirnya Allah memberi ibu kesembuhan,
senang sekali rasanya waktu itu, ku ingat ketika itu ibu bisa mengantarku di
hari pertamaku masuk SMP.
Namun ternyata
takdir berkata lain, belum genap dua tahun kesembuhan ibuku, ternyata
penyakitnya kambuh kembali dan menyerang paru-paru. Dokter sudah menyerah dan
memasrahkannya pada keluarga. Akhirnya ibu menghembuskan nafas terakhirnya dan
menghadap Allah. Ketika itu aku masih kelas dua SMP dan adikku baru kelas empat
SD. Ayahku yang kemudian menggantikan seluruh peran ibu. Memang berbeda rasanya
tapi aku tahu bahwa ayah menyayangi dan mencintai kami dengan penuh ketulusan.
Kemudian Ayah merantau ke Lampung dan kami akhirnya dititipkan pada nenek di
desa.
Ketika aku lulus
SMP, ingin sekali dapat melanjutkan sekolah di SMA, tapi ayahku kurang
mendukung dengan alasan biaya dan khawatir tidak bisa membiayai kuliahku
nantinya, akhirnya aku melanjutkan sekolah di SMK agar dapat langsung bekerja.
Namun aku tetap berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Ketika hampir lulus SMK aku mendapat kesempatan untuk SNMPTN Undangan, aku
sangat berharap dapat lolos seleksi itu namun memang belum menjadi rezekiku,
kemudian aku mencoba untuk ikut PBUTM D3 UGM dan alhamdulillah Allah memberi
jalan. Aku diterima dan tidak perlu membayar biaya kuliah. Meskipun begitu
hidup di Jogja membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan kasihan ayahku yang
bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan kami. Aku mencoba untuk mendaftar
beasiswa lain untuk mendapat tunjangan hidup dan meringankan beban ayahku.
Namun dari pihak akademik kampus tidak mengizinkan mahasiswa PBUTM untuk
mendaftar beasiswa yang ada di UGM dan akupun tidak bisa mendaftar.
Alhamdulillah, R-ZIS UGM memberi kami kesempatan untuk mendaftar menjadi
penerima tunjangan hidup. Tunjangan yang diberikan R-ZIS UGM sangat membantu
kami memenuhi kebutuhan. Kesempatan yang Allah berikan padaku untuk melanjutkan
pendidikan di UGM tidak akan ku sia-siakan. Semoga keberadaanku disini dapat
memberikan manfaat bukan untuk diriku sendiri tapi juga orang tua dan semua
orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar